Kebebasan berpendapat
Kebebasan berpendapat dan berserikat yang terus tumbuh, juga melahirkan niat, keinginan yang akhirnya tidak luput dari nafsu untuk meraih kekuasaan.
Motivasinya bisa jadi adalah idealisme dan niat baik. Namun, yang kerap terjadi, kekuasaan dikejar demi penguasaan ekonomi pribadi atau kelompok.
Dinamika politik kekuasaan biasanya dimainkan oleh para politisi. Tidak bisa seorang pengusaha atau masyarakat awam memiliki kemampuan untuk mengendalikan kekuasaan dengan niat apapun, tanpa melibatkan politisi.
Keberadaan para politisi adalah konsekuensi atas pilihan kita pada sistem demokrasi. Dalam demokrasi, pengelolaan kekuasaan atau politik negara hanya bisa dilakukan oleh partai politik dengan para politisi sebagai operatornya.
Seyogianya, partai politik dan juga para politisi adalah penyambung lidah rakyat. Merekalah yang menjadi saluran aspirasi rakyat. Maka, politisi sesungguhnya adalah wakil rakyat, bukan semata-mata petugas partai.
Kebebasan juga selalu berisiko melahirkan bahaya. Kebebasan yang tidak dijalankan secara bersama dengan ketaatan kepada pranata hukum serta kepatutan akan melahirkan perlawanan dari pihak lain yang akhirnya membahayakan persatuan dan ketertiban.
Ketaatan kepada pranata hukum bukan saja berarti masyarakat harus taat hukum, namun juga kebenaran hakiki negara dan para penegak hukumnya untuk bertindak adil. Hukum hanyalah alat untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat.
Krisis politik
Setelah era Orde Lama, bangsa ini mengalami dua kali pergantian kekuasaan dengan cara yang tidak biasa yaitu lengsernya Soeharto dan jatuhnya Abdurahman Wahid. Meski sama-sama berhenti di tengah jalan, ada perbedaan yang muncul setelahnya.
Setelah Soeharto lengser, masa transisi dan kebangkitan kembali kehidupaan masyarakat membutuhkan waktu yang lama.
Penyebab utamanya adalah bahwa saat itu kondisi kesenjangan, keadilan ekonomi, dan sosial sebenarnya bermasalah, namun terpendam terlalu lama. Kebebasan berpendapat yang dulu tersumpal tiba-tiba seperti meledak.
Kala itu kebebasan seperti tumpah tak tentu arah. Ketertiban sulit ditegakkan. Akhirnya kehidupan masyarakat umum terkorbankan.
Situasi berbeda di masa Abdurahman Wahid. Saat itu kondisi ekonomi jauh lebih baik. Sehingga dampak negatif lengsernya Presiden Abdurahman Wahid, tidak terlalu lama dirasakan.
Kesimpulannya, bangsa dan negara ini sudah cukup beragam memiliki berbagai contoh krisis politik, ekonomi, ataupun sosial.
Pertanyaannya, apakah bangsa ini ingin memperbaiki keadaan dari waktu ke waktu ke arah yang lebih baik, atau bahkan sebaliknya. Hidup adalah pilihan.
Apakah bangsa ini ingin merajut masa depan, atau hanya ingin menikmati lalu menghancurkanya dengan pelan tapi pasti.
Semua kembali kepada para pemimpinnya. Kembali kepada pemerintahnya. Kembali kepada bangsa Indonesia sendiri.
Kalau para pemimpinnya tidak berkemampuan dalam menjalankan amanah rakyat, sementara rakyat hanya ala kadarnya dalam memilih pemimpin, maka dapat dipastikan, kehancuran yang terpampang, walau pelan tapi pasti terjadi.
Sejarah terjadinya krisis, apakah politik, ekonomi ataupun sosial yang pernah terjadi adalah sebuah pelajaran penting bagi bangsa ini.
Catatan atas semua krisis tersebut tidak layak hanya diabadikan sebagai sejarah. Dia harus dijadikan bahan pelajaran penting untuk mengelola bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Apapun catatan sejarah itu, apakah seperti yang terjadi di bulan September 1965 lalu, layak dijadikan pelajaran penting bangsa ini. Pelajaran untuk lebih maju dan bersatu. Bukan untuk melebarkan perbedaan, apalagi berseteru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.