JAKARTA, KOMPAS.com - Biro Hukum Komisi Pemberantadan Korupsi (KPK) menganggap permohonan pembuktian keterlibatan Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP adalah hal yang keliru.
Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mengatakan, permintaan tersebut sudah masuk ke dalam materi perkara.
Sementara, ruang lingkup pengujian dalam praperadilan punya batasan yaitu di luar perkara pokok.
"Pemeriksaan praperadilan hanya menilai aspek formil, bukan menilai alat bukti yang sah dan tidak masuk materi perkara," ujar Setiadi, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Baca: KPK Anggap Novanto Salah Alamat Permasalahkan Status Penyidik
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, ruang lingkup praperadilan terbatas untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka.
Ruang lingkupnya kemudian diperluas dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk upaya paksa yang bisa diperiksa dalam praperadilan.
Dalam sidang sebelumnya, pengacara Novanto, Agus Trianto menganggap tuduhan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus e-KTP terhadap kliennya tidak berdasar.
KPK dianggap tak punya dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka.
Apalagi, nama Novanyo tidak disebut sebagai pihak yang dikaitkan dengan kasus tersebut dalam putusan majelis hakim yang mrngadili mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
Baca: KPK Sebut Dua Alat Bukti Keterlibatan Novanto Didapat Sejak Penyelidikan
Setiadi mengatakan, dalil permohonan tersebut masuk ke materi pokok perkara e-KTP.
"Yang seharusnya disampaikan dalam sidang perkara pokok sebagai hak pemohon melalui nota pembelaan atau pleidoi," kata Setiadi.
Setiadi mengatakan, undang-undang mengatur bahwa ruang lingkup praperadilan tidak bisa mencampuri ranah materi pokok. Jika alat bukti penyidik diuji dalam praperadilan, maka sama saja mengambil alih pekerjaan jaksa penumtut umum yang bertugas menilai apakah suatu perkara dinyatakan telah memenuhi syarat formil.
Selain itu, pembuktian pidana semestinya dilakukan oleh majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi.
"Kalau praperadilam menguji alat bukti, penyidikan sudah kehilangan makna dan relevansinya. Penyidikan sudah tidak perlu dilanjutkan lagi ke pemeriksaan sidang pengadilan pokok," kata Setiadi.
"Tidak ada kewenangan hakim praperadilan menilai pokok perkara karena praperadilam lembaga pemeriksaan horisontal atas perilaku penegak hukum agar tidak bertentangan dengan undang-undang," lanjut dia.