JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Amnesty International Indonesia, Bramantya Basuki, mengungkapkan data Amnesty soal kasus tembak di tempat yang dilakukan kepolisian terhadap orang-orang yang diduga sebagai pengedar narkotikadi Indonesia.
Menurut Amnesty, peristiwa tembak di tempat hingga tewas itu naik empat kali lipat tahun ini. Hingga September 2017, lanjut Basuki, sudah 80 orang terduga pengedar narkotika yang tewas ditembak aparat. Padahal, selama 2016 ada 18 orang.
"Terakhir data dari kami ada 80 orang tahun ini, per hari ini. Memang kalau dilihat ini sudah hampir lebih dari empat kali lipat dari data pada 2016 yang sekitar 18 orang," kata Basuki, usai audiensi dengan Polri di Ombudsman RI, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Selasa (19/9/2017).
Karena itu, dalam audiensi ini, Amnesty mempertanyakan apakah kepolisian sudah melakukan ulasan atau kajian secara internal soal peningkatan kasus tembak mati di tempat ini.
Sebab, Amnesty khawatir model pemberantasan narkoba seperti di Filipina terjadi di Indonesia.
"Karena pasti ada penyebabnya kenapa angkanya bisa sangat fantastis seperti ini. Dan kami khawatirkan jika ini tidak ada review dan investigasi internal, akan menjadi bola salju seperti yang terjadi di Filipina," ujar Basuki.
(Baca: Polisi Tembak Mati Bandar Ganja 200 Kilogram)
Di Filipina, lanjut dia, sampai dengan Februari 2017 operasi pemberantasan narkoba sudah memakan 7.000 jiwa. Dari laporan Amnesty International, terjadi berbagai penyimpangan pada kejadian itu.
"Dari laporan kami ada banyak sekali penyelewengan seperti kasus suap dan polisi membuka sayembara terus banyak orang biasa yang menembak mati dan dapat hadiah, itukan sangat bahaya," ujar Basuki.
Amnesty menyatakan tidak menolak prosedur tembak di tempat atau penggunaan senjata api oleh petugas.
"Tapi yang kami tekankan agar kepolisian tetap patuh kepada prosedur Peraturan Kapolri (Perkap)," ujar dia.