JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di sejumlah daerah.
Sepanjang 2017 ini, dari berbagai operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, ada 5 kepala daerah yang terjaring atas dugaan tindak pidana korupsi. Mereka kini berstatus tersangka KPK.
Pada September 2017 ini saja, ada dua orang kepala daerah yang harus "pindah kantor" ke Kuningan, Jakarta Selatan.
Pada 2016, ada 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya.
Lalu, siapa saja 5 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi hingga September 2017?
KPK menetapkan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti sebagai tersangka, Kamis (22/6/2017).
Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Rabu (21/6/2017), atas dugaan suap pada proyek peningkatan jalan TES-Muara Aman dan proyek peningkatan jalan Curug Air Dingin Kabupaten Rejang Lebong.
Baca topik: KPK Tangkap Gubernur Bengkulu
Selain Ridwan, istrinya Lily Martiani Maddari, Direktur PT Statika Mitra Sarana (PT SMS) Jhoni Wijaya, dan pengusaha Rico Dian Sari juga menjadi tersangka kasus dugaan suap tersebut.
PT SMS merupakan pemenang dua proyek jalan tersebut.
Dalam kasus ini, Ridwan diduga mendapat commitment fee Rp 4,7 miliar dari proyek itu. Suap untuk Ridwan diberikan oleh Jhoni.
Istri Ridwan ikut menjadi tersangka karena diduga sebagai perantara suap dari Jhoni. Uang suap itu diduga diberikan Jhoni melalui Rico.
KPK menetapkan Bupati Pamekasan Achmad Syafii sebagai tersangka pada Rabu (2/8/2017) dalam kasus dugaan suap untuk menghentikan penanganan kasus korupsi penyelewengan dana desa.
Selain Achmad, KPK menetapkan empat orang lainnya sebagai tersangka yakni Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan, Sucipto Utomo, Kepala Desa Dasuk Agus Mulyadi, dan Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin.
Kasus ini berawal dari laporsn sejumlah lembaga swadaya masyarakat soal dugaan penyimpangan anggaran dalam proyek infrastruktur senilai Rp 100 juta yang menggunakan dana desa.
Anggota LSM melaporkan Kepala Desa Dassok, Agus Mulyadi, ke Kejaksaan Negeri Pamekasan. Laporan itu sempat ditindaklanjuti Kejari Pamekasan dengan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan.
Baca topik: KPK Tangkap Bupati dan Kajari Pamekasan
Tetapi, diduga ada komunikasi beberapa pihak di Kejari dan Pemkab Pamekasan.
Dalam pembicaraan antara jaksa dan pejabat di Pemkab Pamekasan, disepakati bahwa penanganan kasus akan dihentikan apabila pihak Pemkab menyerahkan Rp 250 juta kepada Kajari Pamekasan.
Setelah penyelewengan dana desa dilaporkan, Kepala Desa merasa ketakutan dan berupaya menghentikan proses hukum.
Agus selaku Kepala Desa kemudian berkoordinasi dengan Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan, Sucipto Utomo.
Upaya menghentikan perkara tersebut juga dibicarakan dengan Bupati Achmad Syafii.
Achmad ingin agar kasus itu diamankan. Ia tidak hanya menganjurkan upaya penyuapan jaksa.
Ia juga ikut berkoordinasi untuk menurunkan angka yang disepakati sebesar Rp 250 juta. Akan tetapi, Kepala Kejari menolak menurunkan angka pemberian yang telah disepakati.