JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Amnesty International mengklaim menemukan bukti militer Burma (Myanmar) membakar permukiman Rohingya sekaligus menembaki warga ketika mereka mencoba melarikan diri.
Bukti tersebut diungkapkan oleh salah seorang peneliti Amnesty International untuk Myanmar Laura Haigh, dalam konferensi pers jarak jauh di Sekretariat Amnesty International, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/9/2017).
"Lebih dari 80 lokasi dibakar sejak serangan 25 Agustus 2017 oleh militer Myanmar. Juga lebih dari 370.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan dalam waktu kurang dari tiga minggu," ujar Laura melalui sambungan Skype.
(baca: Dua Pesawat TNI AU Berisi Bantuan untuk Rohingya Tiba di Banglades)
Bukti itu diambil dari sejumlah sumber. Mulai dari data deteksi kebakaran, citra satelit, foto, video hingga wawancara langsung dengan puluhan pengungsi yang menjadi saksi mata.
Tim peneliti kemudian mencocokkan informasi-informasi itu sehingga sampai pada kesimpulan tersebut.
Laura menambahkan, beberapa waktu lalu, beberapa jurnalis sempat 'blusukan' ke beberapa desa tempat warga Rohingya tinggal.
(baca: PBB: Pengungsi Rohingya ke Banglades Capai 313.000 Orang)
Para jurnalis juga menemukan fakta bahwa rumah-rumah itu dibakar.
"Para jurnalis masuk ke beberapa desa yang terbakar. Salah satu jurnalis bertanya kepada anak-anak, siapa yang membakar rumah mereka. Mereka bilang (yang membakar) militer Myanmar," ujar Laura.
Yang menyedihkan, di beberapa daerah, pihak berwenang setempat disebut memperingatkan warga desa sebelum rumah mereka dibakar.
Hal ini, lanjut Laura, menunjukan bahwa pembakaran dilakukan secara sistematis dan terencana.
Amnesty International mendesak pemerintah Myanmar menghentikan rantai kekerasan terhadap Rohingya.
Myanmar juga didesak untuk menginvestigasi adanya pelanggaran hak asasi manusia melalui pembersihan etnis di wilayahnya sendiri oleh militer.
(baca: Myanmar Tolak Klaim Komisioner HAM PBB soal “Pembersihan Etnis”)
Sebelumnya, Myanmar mengecam usulan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (UNHRC) yang menyebut perlakuan negara itu terhadap Muslim Rohingnya sebagai "pembersihan etnis".
Utusan Myanmar untuk PBB menyalahkan gerilyawan Rohingnya sebagai pemicu kekerasan di negara bagian Rakhine, sehingga mereka tidak mentolerir aksi kelompok tersebut.
Sekitar 370.000 orang Rohingya telah menyeberangi perbatasan menuju Banglades karena situasi yang kian memanas sejak Agustus lalu.
Militer Myanmar mengatakan bahwa mereka memerangi gerilyawan Rohingya dan membantah menargetkan warga sipil.
Namun, banyak pengungsi mengatakan, militer Myanmar merespon serangan militan Rohingya pada 25 Agustus dengan brutal dan pembakaran desa-desa untuk mengusir mereka keluar.
Rohingnya, minoritas Muslim yang tinggal di dalam masyarakat yang mayoritas Buddhis di Rakhine, telah lama mengalami penganiayaan di Myanmar, yang menganggap mereka sebagai pendatang ilegal dari Banglades.