JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan permohonan penundaan pada sidang praperadilan penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto.
Dalam permohonan penundaan yang dibacakan hakim, KPK menyatakan belum dapat mempersiapkan masalah administrasi.
"Termohon (KPK) menyampaikan permintaan penundaan sidang atas perkara yang dimaksud untuk dapat mempersiapkan syarat-syarat administrasi lainnya," kata hakim tunggal Cepi Iskandar saat membacakan permohonan penundaan dari KPK, di ruang sidang PN Jakarta Selatan, Selasa (12/9/2017).
KPK sebelumnya meminta agar hakim menunda sidang hingga tiga minggu ke depan. Namun, pihak pengacara Novanto sempat keberatan dengan jangka waktu yang diminta KPK.
Setelah hakim berdiskusi dengan kedua pihak, akhirnya diputuskan sidang ditunda hingga pekan depan, Rabu (20/9/2017).
(Baca: KPK Minta Praperadilan Novanto Ditunda, Hakim Tunda hingga Pekan Depan)
Sebelumnya, pada Senin (11/9/2017), KPK menyatakan siap untuk menghadapi sidang praperadilan melawan Novanto hari ini.
"Kami akan hadir untuk memenuhi panggilan di praperadilan, Biro Hukum (KPK) sudah siapkan untuk besok," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (11/9/2017).
(Baca: KPK Siap Hadapi Sidang Praperadilan Setya Novanto)
Yuyuk belum dapat menyebut, siapa saja saksi yang akan dihadirkan pihak KPK dalam sidang praperadilan melawan Ketua DPR RI itu. Dia juga tak menyebut persiapan apa saja yang dilakukan untuk praperadilan.
"Tunggu saja. Saya belum (bisa) informasikan," ujar Yuyuk.
Novanto sebelumnya mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.
Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.
Novanto sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.