JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting berpendapat bahwa saran Jaksa Agung M. Prasetyo agar fungsi penuntutan tindak pidana korupsi (tipikor) dikembalikan ke kejaksaan, menunjukkan adanya keinginan untuk melemahkan kewenangan KPK melalui revisi UU KPK. Pasalnya, saran tersebut hanya bisa diwujudkan melalui perubahan UU KPK.
"Upaya pelemahan terhadap KPK semakin nyata dengan statement itu," ujar Miko saat dihubungi, Senin (11/9/2017).
"Apabila kita perhatikan, statement ini sama dengan mendorong revisi UU KPK. Karena apabila keinginan Jaksa Agung itu ingin diwujudkan, maka jalannya harus dengan merevisi UU KPK," kata dia.
(Baca: Jaksa Agung Minta Fungsi Penuntutan Tipikor Dikembalikan ke Kejaksaan)
Di sisi lain, Miko meyakini adanya pihak-pihak yang memusuhi KPK sehingga ingin kewenangannya itu dipangkas.
"Pada konteks itu, saya semakin yakin bahwa KPK sudah menjadi musuh bersama oleh banyak pihak. Termasuk institusi-institusi penegak hukum lain," ucapnya.
Miko menjelaskan, mempersoalkan kewenangan penuntutan KPK dinilai tidak relevan jika kembali diangkat saat ini. Perdebatan tersebut sudah selesai saat pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu, menurut Miko, keberadaan KPK sebagai trigger mechanism sangat relevan jika melihat kondisi pemberantasan korupsi hari ini.
(Baca: Menurut Jaksa Agung, OTT Kerap Bikin Gaduh)
"Statement itu seperti mengulang perdebatan saat pembentukan UU KPK 15 tahun lalu. Ironis sebenarnya statement demikian muncul kembali setelah 15 tahun pasca pembentukan KPK. Jadi, kita seperti bicara mundur kepada fase sekian tahun yang lalu," kata Miko.
Jaksa Agung M. Prasetyo menyarankan agar fungsi penuntutan tindak pidana korupsi (tipikor) dikembalikan kepada korps Adhyaksa. Menurut dia, Indonesia perlu berkaca pada pemberantasan korupsi di Malaysia dan Singapura.
Ia mengatakan, meski kedua negara memiliki aparat penegak hukum khusus untuk memberantas korupsi, kewenangan penuntutan tetap berada pada kejaksaan.
"Baik KPK Singapura dan Malaysia terbatas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan saja. Dan meskipun KPK Malaysia memiliki fungsi penuntutan tapi dalam melaksanakan kewenangan tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu ke Jaksa Agung Malaysia," ujar Prasetyo dalam Rapat Kerja bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2017).
(Baca: Istana Tegaskan Jokowi Tak Akan Setuju Rekomendasi Pembekuan KPK)
Ia mengatakan model pemberantasan korupsi seperti itu justru lebih efektif ketimbang di Indonesia. Hal tersebut, kata Prasetyo, terlihat melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Malaysia dan Singapura yang lebih tinggi ketimbang Indonesia.
Saat ini, IPK Malaysia sebesar 49 dan menempati peringkat 55 dari 176 negara. Singapura dengan survei sama memiliki IPK sebesar 84 dan menduduki peringkat 7. Indonesia saat ini memiliki skor IPK 37 dan berada di peringkat 90.
"Meskipun penindakan kasus korupsi dengan melakukan operasi tangkap tangan yang dilaksanakan di negara kita yang terasa gaduh dan hingar bingar namun IPK indonesia dalam beberapa tahun ini tidak mengalami kenaikan yang signifikan," tutur Prasetyo.
"Ini merupakan perwujudan asas universal dominus litis persecution system, sistem penuntutan tunggal yang berlaku di hampir semua negara," lanjut dia.