JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, genap lima bulan setelah peristiwa penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, 11 April 2017 lalu.
Namun, Polri belum juga menemukan titik terang siapa pelaku yang patut bertanggung jawab atas teror tersebut.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak khawatir lamanya penuntasan kasus Novel akan bernasib sama dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Bila tidak, terus terang, kasus ini akan serupa dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung dituntaskan," ujar Dahnil melalui keterangan tertulis, Senin (11/9/2017).
(Baca juga: Kontras Dorong Pembentukan TPF untuk Kasus Novel Baswedan)
Lamanya pengusutan kasus Novel, kata Dahnil, membuat dia semakin pesimistis bahwa Polri punya kemauan untuk menuntaskan kasus ini.
Menurut Dahnil, lamanya penuntasan kasus tersebut bukan masalah kesulitan teknis penyidikan. Namun, diduga karena masalah itikad baik kepolisian untuk menuntaskannya.
"Merujuk pada kasus-kasus yang diduga melibatkan pihak yang memiliki kekuasaan politik atau 'pemilik senjata', polisi seringkali kesulitan menyelesaikan kasus tersebut," kata Dahnil.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo kembali diminta terlibat untuk mendorong pembentukan tim gabungan pencari fakta. Tim independen tersebut diyakini akan membuat proses investigasi lebih cepat tanpa campur tangan kepentingan lain.
"Anggotanya adalah individu-individu yang kredibel dan independen, yang bisa melakukan asistensi dan pengawasan kerja pro-judisia yang dilakukan pihak kepolisian," kata dia.
Sikap setuju atau tidaknya dalam pembentukan tim gabungan pencari fakta, akan menjadi ujian bagi Jokowi. Terutama pada komitmennya dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
"Di mana justru saat ini ada fakta keadilan hukum dan pemberantasan korupsi memasuki era kegelapan," kata Dahnil.