JAKARTA, KOMPAS.com - Kalau ditanya siapa Kyai yang pernah memimpin Indonesia? Rasa-rasanya tak butuh waktu lama bagi kita untuk menjawab Gus Dur.
Meski memiliki keterbatasan fisik, namun kepiawaian dalam memimpin ormas Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) dan merangkul komunitas di luar NU telah menempatkan pemilik nama lengkap Abdurrahman Wahid itu menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Perjalanan Gus Dur menuju istana tak lepas dari dukungan warga NU dan komunitas non-NU. Kendati sebelumnya di kalangan NU sendiri, beberapa kali ada upaya mendongkel kepemimpinan Gus Dur.
Harus diakui, masuknya Gus Dur di puncak tangga kepemimpinan NU tergolong mudah, tidak berliku, dan bisa dibilang seperti berjalan di jalan tol.
(Baca: Selamat Ulang Tahun, Gus Dur!)
Disarikan dari buku Gila Gus Dur terbitan LKIS, Gus Dur secara formal baru aktif di NU sekitar tahun 1970-an. Posisinya melesat jauh ke puncak organisasi tatkala ditunjuk menggantikan KH Idham Chalid pada Muktamar NU tahun 1984.
Ada sejumlah alasan mengapa Gus Dur bisa dengan cepat masuk di jajaran elit NU. Saat aktif di NU, organisasi tersebut tengah dihadapkan pada masalah titik berat orientasi. Sebagai konsekuensi aktifnya NU berpolitik, titik berat perhatian NU pun lebih pada masalah-masalah politik.
Realitas tersebut berbeda dengan orientasi NU ketika pertama kali didirikan, yaitu sebagai jam'iyah diniyah ijtima'iyah yang berarti organisasi keagamaan kemasyarakatan. Titik berat orientasi politik kala itu justru tak mampu mengagregasikan kepentingan warga NU, sebab corak political society Indonesia bersifat otoritarian.
(Baca: Benarkah Gus Dur Miliki Kemampuan Gaib?)
Gus Dur pun hadir membawa gagasan strategi kembali ke khittah 1926, untuk menyiasati political society yang otoriter.
Meski demikian, NU tidak pasif sama sekali. Dalam berpolitik, warga NU bisa masuk ke partai-partai yang ada, sembari pendekatan ke penguasa. Gagasan yang ditawarkan Gus Dur ini pun diterima oleh para kyai NU.
Selain faktor situasi sosial politik, jalan tol kepemimpinan Gus Dur di NU adalah masalah silsilah keluarga.
Darah biru NU ceramah di gereja
Berasal dari keluarga terpandang di lingkungan NU, membuat Gus Dur relatif lebih mudah diterima di kalangan NU dan para kyai sepuh.
Dari pihak ayah, Gus Dur adalah cucu dari Kyai Hasyim Asy'ari, pendiri NU. Sementara dari pihak ibu, ia adalah cucu dari Kyai Bisri Sansuri, seorang ahli fiqh, Rais Aam PBNU.
Di samping itu semua, alasan lain yang tak kalah penting yaitu kualitas pribadi Gus Dur. Tak heran, dengan faktor-faktor itu tadi, Gus Dur terpilih sebagai pimpinan baru PBNU dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo.
Meski mendapat dukungan penuh dan kepemimpinan di internal NU makin menguat, namun kepemimpinan Gus Dur tak lepas dari tantangan.
(Baca: Di Balik Misteri Tidur Gus Dur)
Musababnya, banyak gagasan Gus Dur yang dinilai kontroversial, seperti gagasan tentang "pribumisasi Islam", "hubungan Islam dan negara", pluralisme dan demokrasi, termasuk keberaniannya memberikan ceramah di hadapan orang Kristiani di gereja.
Upaya mendongkel kepemimpinan Gus Dur yang dianggap "nakal" itu pun terjadi dua kali yaitu dalam Muktamar NU ke-28 dan ke-29.
Bahkan, pada saat Muktamar NU ke-29 di Cipasung, sempat muncul gerakan ABG alias Asal Bukan Gus Dur.
Yang terakhir itu, bahkan disebut-sebut ada campur tangan dari aparat negara karena Gus Dur dianggap berbahaya. Hal itu dikarenakan kritik dan lontaran-lontaran yang dilakukan Gus Dur.
Namun, upaya mendongkel kepemimpinan Gus Dur di NU sia-sia. Dia bertahan tiga periode atau 15 tahun hingga akhirnya terjadi gejolak reformasi '98.
Menuju istana
Kemunculan Gus Dur sebagai Presiden RI cukup mengejutkan, utamanya bagi warga NU. Alasannya, hingga detik-detik terakhir Sidang Umum MPR 1999, konsep capres lebih pada figur Habibie atau Megawati.
Di samping itu, PKB sebagai partai yang didirikan Gus Dur hanya menduduki peringkat ketiga dalam Pemilu. Alasan lain, tentu saja adalah masalah kesehatan.
Berangkat dari fakta-fakta itu, Poros Tengah yang dikomandoi Amien Rais mencalonkan Gus Dur pun awalnya tak ditanggapi serius oleh banyak kalangan termasuk warga NU. Mereka juga menganggap Poros Tengah Amien Rais ini hanyalah kelompok Islam yang kecewa lantaran kalah Pemilu.
Selain itu, kekuatan Poros Tengah sendiri tidak realistis. Terakhir, warga NU curiga Poros Tengah hanya akan mengorbankan Gus Dur dan hendak memisahkannya dari Megawati, namun ujung-ujungnya menghendaki tampilnya Habibie.
(Baca: Jika Ingin Gus Dur Marah, Beritahukan Ada Rakyat Kecil Tertindas)
Rupanya kekhawatiran tersebut berlebihan. Poros Tengah serius.
Di samping keseriusan Poros Tengah, Pemilu 1999 bisa dibilang hampir dimenangkan oleh komunitas NU. Karena, selain terkonsentrasi di PKB, para politisi NU juga menyebar di partai-partai lain seperti PPP, PNU, PKU, Golkar, PDI, serta PK.
Dengan pertimbangan-pertimbangan rasional tersebut, Gus Dur pun bersedia dicalonkan sebagai Presiden. Beberapa pertimbangan irasional juga mewarnai perjalanan Gus Dur menuju istana.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI pada akhirnya, menegaskan kecakapannya dalam menjadi seorang pemimpin.
Meskipun banyak perbedaan antara memimpin NU dan masyarakat Indonesia yang menjadi tantangan bagi Gus Dur. Misalnya, komunitas NU lebih homogen, sedangkan Indonesia lebih beragam.
Apalagi di dalam NU kental dengan budaya patron-klien, sedangkan masyarakat Indonesia jauh lebih kompleks. Terakhir yang paling nyata adalah pada masa kepemimpinan Gus Dur, Indonesia tengah terbelit krisis ekonomi dan moneter.