Setelah menjalani pemeriksaan selama 20 menit, penumpang dibolehkan turun. Jenazah Cak Munir pun diturunkan dan dalam pengurusan otoritas bandara. Proses autopsi pun dilakukan untuk mencari tahu penyebab tewasnya penerima berbagai penghargaan terkait HAM di Indonesia.
Istri Munir, Suciwati, yang ditemani sejumlah kolega Munir seperti aktivis Kontras Usman Hamid dan aktivis Imparsial Pungki Indarti pun terbang ke Belanda untuk menjemput jenazah Cak Munir.
Pada 12 September 2004, jenazah penerima penghargaan internasional Right Livelihood Award 2000 ini pun dimakamkan di kota kelahirannya, Batu, Malang.
(Baca juga: Suciwati Setelah Munir Berpulang...)
Diracun arsenik
Kabar mengejutkan baru datang sekitar dua bulan kemudian. Pada 12 November 2004, kepolisian Belanda mengumumkan hasil autopsi yang menyebut bahwa ditemukan jejak-jejak senyawa arsenik di tubuh Munir.
Temuan ini kemudian diumumkan Kepolisian RI di Jakarta. Kapolri saat itu, Jenderal Pol Da'i Bachtiar menyebutkan ada dugaan pembunuhan terhadap Cak Munir dengan cara diracun.
Kandungan racun arsenik ditemukan di air seni, darah dan jantung yang melebihi kandungan normal.
"Begitu hasil pemeriksaan laboratorium terhadap jenazah Munir dari Belanda yang kami terima dari Departemen Luar Negeri (Deplu). Ada dugaan kematian Munir tidak wajar," ujar Da'i, dikutip dari Harian Kompas yang terbit 13 November 2004.
(Baca juga: "Bahaya Sekali Kalau Pembunuh Munir Bebas Berkeliaran")
Polri pun segera membentuk tim forensik guna melakukan pendalaman. Jenazah Munir yang saat itu sudah dikubur, kemudian kembali dibuka untuk dilakukan pendalaman.
Ketika itu, Koordinator Kontras Usman Hamid menduga bahwa racun arsenik masuk tubuh Munir dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Setelah lepas landas dari Singapura menuju Belanda, racun itu kemudian berproses, yang diperlihatkan dengan lemasnya Munir selama penerbangan Singapura-Belanda.