KPK dikerdilkan
Penghilangan kewenangan KPK dinilai bukan sebagai hal baru, melainkan sudah diskenariokan sejak lama.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, pansus hanya menjadi jembatan untuk merealisasikan revisi UU KPK yang sudah direncanakan sejak lama. Apalagi, pengembalian kewenangan penuntutan ke Kejaksaan juga tercantum dalam draf revisi UU KPK beberapa waktu lalu.
"Pansus itu hanya sebagai anak tangga saja untuk masuk pada tujuan yang sesungguhnya, menggerogoti KPK. Tujuan ini sudah diskenariokan sejak lama," kata Donal saat dihubungi, Selasa.
Menurutnya, pencabutan kewenangan KPK mau diambil tanpa dasar yang jelas. Pansus dinilai tak mampu menunjukan bahwa ada masalah pada tingkat penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan di KPK sehingga harus dihilangkan.
(Baca: Di Rapat Pansus, Ikatan Hakim Pertanyakan Kewenangan KPK sebagai Penyidik dan Penuntut Umum)
Ia menduga, upaya keras DPR melucuti kewenangan KPK salah satunya didasari fakta bahwa sejak KPK berdiri hingga Juni 2017, sudah 134 anggota DPR/DPRD dicokok karena kasus korupsi.
Hal itu tak dilakukan oleh penegak hukum lain. Kepolisian maupun Kejaksaan, kata Donal, kerap kali tak masuk wilayah korupsi politik. Padahal, wilayah tersebut dianggap sebagai jantung terjadinya korupsi di Indonesia.
Misalnya, kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menunjukan bahwa permainan dilakukan sejak pembahasan anggaran.
"Penegak hukum lain tidak pernah masuk ke situ. KPK selalu masuk ke wilayah itu. Dan ini yang membuat mereka terasa terganggu. Sehingga ada pikiran untuk menghilangkan kewenangan itu," tuturnya.
Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dalam forum rapat bersama pansus Senin lalu mengeluhkan soal jaksa dari Kejaksaan yang merasa dianaktirikan dibandingkan dengan jaksa KPK.
Ketua PJI Noor Rachmad saat itu mengatakan, dengan segala keistimewaan yang dimiliki, KPK justru hadir sebagai kompetitor.
(Baca: Pengurangan Kewenangan KPK Diwacanakan Jadi Salah Satu Rekomendasi Pansus)
Keluhan-keluhan tersebut, kata Donal, bukan dilahirkan oleh institusi KPK melainkan karena institusi yang bersangkutan belum bekerja efektif.
"Kalau kewenangannya belum efektif dan institusinya belum efektif, bukan justru menggerogoti kewenangan lembaga lain sehingga terlihat efektif," kata Donal.
Wacana pembentukan Densua Tipikor pun dinilai sebagai salah satu bagian dari upaya melucuti kewenangan KPK.
"Ini skenario yang sudah mereka siapkan. Kewenangan KPK digerogoti dan kemudian kewenangan lembaga lain diperkuat," tuturnya.
Tunduk pada Kejaksaan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti menuturkan, struktur KPK nantinya menjadi seolah berada di bawah Kejaksaan jika kewenangan penuntutan hanya diberikan kepada Kejaksaan. Tak ada alat yang bisa memaksa Kejaksaan untuk wajib menindaklanjuti perkara di KPK.
Berkas penyidikan KPK bisa saja dikembalikan dengan alasan belum lengkap dan lainnya. Berbelitnya birokrasi dan banyaknya kasus yang masuk ke Kejaksaan pada akhirnya akan membuat proses kasus-kasus korupsi berjalan lambat.
"Seiring dengan itu orang akan makin tidak respek terhadap KPK karena dianggap tuntutannya terlalu lemah. Sehingga jangankan di pengadilan, di Kejaksaan saja ditolak," tutur Ray.
Revisi UU KPK sendiri jika dibiarkan akan berpotensi meluas ke pasal-pasal lainnya, tak terbatas pada kewenangan. Ray menyebutkan misalnya soal penyidik independen, penyadapan hingga kewenangan penyadapan. Hal itu, dinilai jelas melemahkan komisi antirasuah.
"UU itu kan satu bangunan. Jadi kalau satu bangunannya dikoreksi biasanya punya kaitan dengan bangunan bangunan atau pasal-pasal lain. Kadang itu sesuatu yang tak terelakan," tuturnya.
Presiden Joko Widodo pun diminta untuk tegas merespons hal ini. Sebab saat ini, ia melihat sikap presiden masih 50:50 alias tak ada kecenderungan pada sikap tertentu. Misalnya seperti pernyataan bahwa presiden tak mau melemahkan KPK. Kata "melemahkan" tersebut tak memiliki ukuran yang jelas.
"Kalau beliau termasuk setuju (revisi UU KPK), ya itu kemalangan demokrasi kita," kata Ray.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.