Analogi yang disodorkan Hikmahanto adalah mengandaikan orang keturunan Jawa yang lahir dan besar di Suriname terlibat konflik sosial lalu dipaksa balik ke Banyumas, Jawa Tengah. “Mana bisa begitu? Mereka sudah lama tinggal di situ,” kata dia.
Heru menambahkan, persoalan geopolitik terkait Rohingya bahkan sudah berlangsung sejak sebelum etnis ini mayoritas beragama Islam.
Bola di tangan Myanmar
Dari semua catatan tersebut, Heru berpendapat saat ini bola persoalan Rohingya memang ada di tangan Myanmar. Mau tidak mau, kata dia, Myanmar harus mau menerima dan memberikan kewarganegaraan pada Rohingya.
“Terlebih lagi, persoalan ini mencuat terutama sejak junta militer berkuasa pada 1960-an, lalu ditambah ada Burma Citizenship Law pada 1982 yang tak mengakui etnis ini sebagai warga negara. Sekarang kan sudah rezim sipil, Myanmar harus bisa memberi pengakuan (kewarganegaraan),” kata Heru.
Jauh-jauh hari, pengingkaran soal hak kewarganegaraan dalam Burma Citizenship Law tersebut sudah menjadi kajian kritis antara lain oleh Human Right Watch. Rincian tersebut diurai dalam satu bab berjudul "Discrimination in Arakan" pada salah satu laporannya.
Tanpa ada itikad baik Myanmar, Heru berpendapat persoalan Rohingya akan terus menjadi lingkaran setan di kawasan Asia Tenggara. Bersamaan, imbuh dia, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, ASEAN, dan PBB juga tak boleh tinggal diam.
“Bila ini terus dibiarkan, dampaknya tak hanya dirasakan Myanmar dan Banglades, tetapi bisa jadi problem besar bagi negara-negara di kawasan hanya karena abainya Myanmar dan diamnya ASEAN,” ungkap Heru.
(Baca juga: Kekerasan terhadap Warga Rohingya Bukan Konflik Agama)
Sejauh ini, imbas masalah Rohingya di Myanmar yang sudah dirasakan negara-negara Asia Tenggara adalah pengungsi dan manusia perahu. Banglades, Thailand, Indonesia, dan Malaysia, sudah terkena "limpahan" pengungsi ini.
Penyelesaian persoalan Rohingya sudah tak cukup dilakukan melalui perundingan tanpa ada langkah nyata. Lagi pula, ujar Heru, masalah Rohingya juga sudah meluas ke soal kemiskinan dan rendahnya pendidikan.
Alasan etnis ini diduga merupakan kelompok kriminal juga ditepis Heru. Menurut dia, hanya segelintir Rohingya yang melakukan itu, sementara ada lebih banyak Rohingya terimbas kekerasan termasuk perempuan dan anak-anak.
“Myanmar harus bertanggung jawab. Berikan juga hak-hak (kewarganegaraan) setelah rekognisi,” tegas Heru.
Jangan sampai, harap Heru, situasi ini sampai dimanfaatkan oleh kepentingan lain yang semakin memperparah persoalan atas nama berbagai sentimen.
Bila Myanmar tak juga punya nyali
Bila kekerasan di Rakhine tidak juga dihentikan, kata Hikmahanto, masyarakat internasional dapat bertindak atas Myanmar. Landasan tindakan internasional ini adalah konsep responsibility to protect (R2P).