TERUTAMA sejak tahun lalu, persisnya imbas Pilgub Jakarta dua putaran, aktivitas mulia dakwah khususnya khotbah kerap jadi sorotan. Bahkan publik dibuat gaduh karenanya, hingga muncul wacana kontroversial tentang sertifikasi pendakwah.
Terakhir, khotbah Id Adha di Pondok Gede, Jakarta, ramai di warganet karena kontennya dinilai tendensius. Ini mengikuti ramai berita khotbah Ied Fitri 2017 lalu di Alun-Alun Wonosari, Yogya, yang kala itu dianggap bermuatan politis.
Seperti apakah posisi komunikasi publik dalam Islam? Apakah betul sama sekali tak boleh ada kritik dan tafsir sosial dalam konten khotbah khususnya? Bagaimana audiens (mad'u) harus bersikap ketika konten dakwah ditransmisikan da'i?
Ada beberapa pendekatan singkat dan sederhana yang bisa diberikan. Pertama, khotbah tentu saja derivatif dari aktivitas dakwah --sebuah kata kerja dalam bahasa Arab, da'a-yad'u, yang artinya memanggil, mengajak, atau menyeru.
Sedemikian pentingnya dakwah dalam Islam, merujuk Dakwah di Era Media Baru (Moch. Fakhruroji, 2017), maka Al Quran mengulang kata tersebut dan derivasinya sebanyak 321 kali. Tak hanya itu, kata lain yang terkait pun direpitisi oleh-Nya.
Secara berurutan, selanjutnya adalah tadzkirah (memberi nasihat, memberitahukan, membangkitkan, dan perhatian kewaspadaan) 293 kali; tanzir (memeringatkan) 130 kali, tabsyir (mengabarkan berita gembira) 86 kali, tabligh (menyampaikan) dan derivasinya 76 kali, tausiah (menasihati) 32 kali, nashihat (nasehat) 13 kali, dan amar ma'ruf (mengajak kebaikan) sembilan kali.
Jika menilik ini saja, kuantitatif komunikasi publik Islam ditekankan untuk memanggil/mengajak, dengan membangkitkan atensi, memeringatkan, dan mengabarkan berita gembira. Kemudian, menyampaikan kebenaran dengan menasihati serta mengajak kepada kebaikan.
Kedua, esensi aktivitas komunikasi adalah menciptakan kesetaraan pemahaman (to make common) sehingga pesan tersampaikan dan lebih lanjutnya diharapkan ada perubahan sikap dan prilaku setelah komunikan terpapar konten komunikasi.
Namun hal ideal ini tentu tidak turun dari langit. Selalu ada tantangan untuk peroleh hasil optimal tersebut, antara lain komunikator mampu melingkupi latar belakang dan pengalaman multivariatif dari khalayak atau lazim disebut field of experience dan frame of reference.
Jika kemudian muncul feedback datar bahkan negatif sampai kontraproduktif, alih-alih pesan sampai dan merubah prilaku, maka komunikator (baca: da'i) perlu melihat polah diri berkomunikasi sekaligus kontennya yang kemungkinan bertabrakan kebutuhan mad'u.
Ketiga, tantangan para komunikator dakwah saat ini adalah fragmentasi yang cukup kuat di masyarakat sebagai imbas pilihan politik. Betapa pecinta kuat dan pembenci akut, hater and lover, bertebaran di hadapan podium mimbar.
Tak mudah merangkul keduanya meski bukan tidak mungkin. Meski sebaliknya, pemaparan fakta secara dalil naqli dan dalil aqli secara utuh pun harus siap dengan berbagai respons "ajaib" sebagai imbas rasa berlebihan yang tak mampu melihat jernih.
Singkat kata, dalam hemat penulis, gaduh khotbah pada hari ini adalah respons normal bukan hal yang harus menyurutkan apalagi menghentikan seorang da'i dalam berdakwah --hampir 800 ayat Al Quran menegaskan pentingnya aktivitas tersebut.
Yang urgent dan mutlak diperlukan adalah peningkatan kemampuan penceramah dalam berlaku dan membuat konten komunikasi yang mampu mengayomi field of experience dan frame of reference super heterogen, sekaligus bisa mempersatukan hater and lover karena terciptanya to make common yang disatukan melalui konten dakwah. Tak mudah, namun mungkin!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.