HARI RAYA Idul Adha atau juga yang dikenal dengan Idul Qurban bagi umat Islam merupakan hari raya yang penuh dengan makna historis, sosial, maupun filosofis.
Secara historis Idul Qurban lahir dari adanya rasa ikhlas Nabi Ibrahim AS beserta anaknya yaitu Nabi Ismail AS, untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Bagi Nabi Ibrahim, upaya mengikhlaskan anaknya Ismail untuk dikurbankan dapat menjadi sebuah ujian yang sangat berat, karena pada hakekatnya beliau sudah lama menantikan seorang anak yang diharapkan dapat menjadi generasi penerusnya.
Namun karena itu adalah perintah dari Allah SWT, maka keduanya kemudian saling meneguhkan hati untuk menjalankan apa yang diperintahkan. Rasa ikhlas hati itulah yang kemudian membuat Allah SWT, memerintahkan keduanya untuk menggantinya dengan menyembelih hewan kurban.
Baca juga: Seruan Nabi Ibrahim dan Refleksi Gugatan Kepada Negara
Rasa ikhlas dan mau berkorban itulah yang kemudian menjadi contoh baik dalam sejarah Islam, bagaimana ketaatan seorang manusia terhadap Sang Pencipta perlu selalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Atas peristiwa itu pula kemudian Allah SWT, memerintahkan Nabi Muhammad SAW, untuk menceritakan kisah Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Ismail AS, kepada umatnya (dalam QS Maryam [19] : 54; dan QS Ash-Shafaat [37] : 103, 104, 107).
Atas dasar itulah maka hingga saat ini umat Islam selalu dapat mengenang sejarah dan makna dari Idul Qurban. Namun demikian makna Idul Adha atau kurban sejatinya tidak hanya bagaimana mengenang sejarah keikhlasan serta rela berkorban Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS, tetapi juga bagaimana kemudian dari kurban itu muncul nilai-nilai sosial yang dapat diambil pelajarannya.
Dengan berkurban kita mengimplementasikan nilai-nilai sosial dengan diharuskan peka terhadap kondisi masyarakat di sekitar, untuk kemudian mau membagi hasil dari kurban kepada saudara-saudara yang tidak mampu.
Proses berbagi ini tentunya diyakini juga dapat menumbuhkan rasa kebersamaan di antara sesama masyarakat, tidak boleh ada perasaan bahwa yang kaya atau memiliki jabatan adalah lebih tinggi dari yang lain.
Bagi seorang politisi yang beragama Islam, sejatinya Idul Adha atau Idul Qurban juga harus dapat dijadikan sebagai sebuah momentum perubahan dalam rangka peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Kurban harus dapat diterjemahkan sebagai sebuah upaya dalam rangka menumbuhkan rasa ikhlas dalam bekerja dengan diniatkan sebagai ibadah, ketika rasa ikhlas sudah muncul maka potensi-potensi untuk melakukan penyimpangan dalam melakukan pekerjaan dapat disingkirkan.
Disisi lain kurban juga harus dapat memunculkan sikap kepekaan sosial seorang pemimpin dan politisi, yaitu dengan jabatan yang dimilikinya mereka harus dekat dengan rakyat serta harus mau berbagi.
Politisi dan Pemimpin
Hakekat berpolitik memang lekat dengan upaya meraih kekuasaan, namun demikian kekuasaan tanpa rakyat adalah sebuah kemustahilan.
Dalam sebuah negara demokrasi rakyat secara formal dianggap sebagai pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi, bahkan ketika pelaksanaan Pemilu rakyat selalu menjadi objek yang didekati oleh partai politik maupun politisi.