JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengapresiasi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berhasil melobi PT. Freeport Indonesia untuk melepas saham ke pemilikan nasional (divestasi) sebesar 51 persen.
Menurut dia, hal tersebut menunjukan keberhasilan Jokowi tak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga politik internasional.
"Politik luar negeri ini enggak mungkin terhindari dalam soal Freeport ini," ujar Ara, sapaannya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/8/2017).
(baca: CEO Freeport McMoran: Kami Menghargai Kepemimpinan Presiden Joko Widodo)
Meski demikian, keberhasilan dalam melobi Freeport untuk melakukan divestasi harus diimbangi dengan kebijakan lanjutan yang tepat.
Ara mengatakan, divestasi saham Freeport harus menjamin meningkatnya kesejahteraan masyarakat Papua.
Karena itu, ia meminta pemerintah tidak sekadar menggunakan skema bisnis dalam menempatkan saham hasil divestasi.
(baca: BUMN Siap Ambil Alih Mayoritas Saham Freeport)
Menurut dia, yang perlu diutamakan ialah rakyat Papua, melalui pemerintah Provinsi Papua.
"Prioritas satu menurut saya rakyat Papua. Apakah itu pemda atau rakyat itu prioritas satu. baru kedua BUMN, BUMD, dan lainnya. Sehingga jangan seperti memanage korporasi," papar Ara.
"Ini bukan korporasi semata. Dia (masalah Freeport) korporasi yes, legal yes, politik internasional yes, politik dalam negeri, sospol (sosial dan politik) Papua juga yes. Begitu hanya satu variabel kita enggak komprehensif. Udah salah total," lanjut anggota Komisi XI DPR itu.
Keempat poin yang dimaksud adalah pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan pemerintah dengan Freeport Indonesia adalah IUPK, bukan kontrak karya (KK).
(baca: Sri Mulyani: Perundingan dengan Freeport Tidak Mudah)
Kedua, divestasi atau pelepasan saham Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional.
Ketiga, Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun atau maksimal pada Oktober 2022.
Keempat, stabilitas penerimaan negara, yakni penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui KK selama ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.