JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menganggap, ada dua jenis kekerasan beragama di Indonesia.
Pertama, yakni aksi terorisme yang mengatasnamakan agama tertentu. Polri dinilainya berhasil memberantas teroris hingga ke sel terkecil.
Saat ini, tak ada jaringan teroris yang kuat mengakar.
Namun, negara dianggap mengabaikan pemberantasan kekerasan agama yang kedua, yakni intolerasi beragama.
"Yang terorisme sifatnya sporadis, intoleransi sifatnya sehari-hari. Ini rentan timbulkan situasi seperti demo-demo atas nama agama," ujar Alissa dalam diskusi di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Artinya, agama mayoritas menganggap kelompoknya lebih berkuasa dibandingkan kelompok agama minoritas.
(baca: Polri: Intoleransi adalah Cikal Bakal Terorisme)
Hal tersebut pernah terjadi di Jerman oleh Nazi.
"Menjadi lebih berat ketika eksklusivisme itu agama karena pakai nama Tuhan. Dia sudah berkuasa, ditambah punya kebenaran," kata Alissa.
Alissa mencontohkan, dampaknya mulai terjadi dengan adanya penolakan pembangunan tempat ibadah, diskriminasi kelompok aliran kepercayaan tertentu, hingga pembubaran kegiatan keagamaan kelompok minoritas.
(baca: Mendikbud Berupaya Tekan Praktik Intoleransi di Sekolah)
Menurut dia, kesenjangan kelompok mayoritas dan minoritas baru terjadi dalam beberapa tahun belakangan.
Setiap tahunnya, isu diskriminasi dan intoleransi beragama dihembuskan semakin kuat.
Alissa menyayangkan tindakan polisi yang kurang responsif untuk melindungi masyarakat yang masuk ke dalam kelompok minoritas itu.
"Konflik sosial, pembakaran rumah ibadah, konflik atas nama agama, sekarang baru ribut-ribut. Selama ini proses ini dibiarkan," kata Alissa.
(baca: Kapolri Instruksikan Polisi Tangkap Pelaku "Sweeping" Atribut Keagamaan)
Alissa memberi contoh, kelompok tertentu melarang umat Islam mengucapkan selamat hari raya Natal bagi umat kristen.
Intensitasnya semakin kencang dati tahun ke tahun. Bahkan, mulai muncul resistensi dalam penggunaan atribut Natal.
"Sweeping saat Natal, polisi sempat kecolongan di Bekasi, di Surabaya. Saya lihat banyak sweeping sudah banyak skali. Lalu Kapolri sampaikan tegas, tidak boleh sweeping," kata Alissa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.