JAKARTA, KOMPAS.com - Guru besar Fakultas Filsafat Hukum dan HAM dari Universitas Cendrawasih, Jayapura, Melkias Hetharia menilai bahwa makna makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terlalu luas.
Hal ini berpotensi menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang telah dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pendapat ini disampaikan Melkias dalam sidang uji materi yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).
Melkias merupakan Ahli yang diajukan oleh pemohon uji materi dengan nomor perkara 28/PUU-XV/2017.
"Pasal makar itu apabila diterapkan maka akan bertentangan dengan HAM yang dilindungi dalam undang-undang Dasar 45 sehingga menguncang sendi-sendi keadilan," kata Melkias.
Menurut Melkias, istilah makar dalam KUHP diterjemahkan dari istilah aanslagh dalam bahasa Belanda yang artinya penyerangan. Kemudian dalam bahasa Indonesia, diartikan sangat luas dan tidak sejalan dengan arti aanslagh.
(Baca: Saksi: Pemerintah, Aparat, hingga Profesor Hukum Tak Paham Pasal Makar)
"Apabila istilah makar pada pasal-pasal tersebut tidak dimaknai sebagai aanslagh atau serangan, maka pasal-pasal itu memang bertentangan dengan HAM," kata dia.
Sebelumnya, permohan tersebut diajukan oleh Hans Wilson Wader, Meki Elosak dan Jemu Yermias Kapanai. Pemohon menggugat Pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 KUHP.
Menurut pemohon, makna makar pada pasal tersebut multitafsir dan mengancam hak konstitusional dirinya sebagai warga negara Indonesia.
Bisa saja aksi yang unjuk rasa atau demonstrasi yang sedianya bertujuan menyuarakan kritik justru dianggap sebagai tindakan makar.
Seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia maka pasal tersebut sedianya ditiadakan karena berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.