JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, Kejaksaan Agung akan mengajukan permohonan agar Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan fatwa terkait pengajuan grasi bagi narapidana.
Fatwa tersebut diperlukan untuk memberikan kepastian bagi Kejaksaan dalam mengeksekusi hukuman mati para terpidana, khususnya kasus narkotika.
"Saya sudah minta Jampidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khsusu), Jampidum (Jaksa Agung Muda Pidana Umum), untuk membuat fatwa kepada MA dan MK, biar ada kepastian," kata Prasetyo, di Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Jumat (18/8/2017).
Prasetyo menjelaskan, Kejaksaan Agung kesulitan melakukan eksekusi setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa pengajuan grasi tidak dibatasi selambatnya adalah satu tahun sejak putusan hakim pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Sebab, ekseskusi kerap dipersoalkan dengan alasan bahwa terpidana belum mengajukan grasi.
Baca: Kejagung Bantah Dianggap Maladministrasi Eksekusi Mati WN Nigeria
Ketentuan pengajuan grasi lebih dari satu tahun setelah inkracht sering dimanfaatkan para narapidana dengan cara mengulur waktu untuk mengajukan grasi.
Di sisi lain, pemerintah telah menegaskan akan memerangi narkotika dan bersikap tegas terhadap para pelakunya.
"Kami tidak akan bisa melakukan keputusan sudah inkrah, sementara dimainkan para terpidananya untuk mengulur-ulur waktu," kata dia.
Menurut Prasetyo, penegakan hukum yang tegas perlu diberlakukan terhadap pelaku kasus narkotika.
Jika tidak, pemerintah akan sulit melakukan pencegahan.
"Karena kasus narkoba kan cenderung mereka masih tetap melakukan praktik pengendali dari balik penjara. Ini kami tidak mau," kata dia.
Baca: Kejaksaan Agung Dinilai Langgar Putusan MK Terkait Eksekusi Mati Humprey Jefferson
Dikutip dari website Mahkamah Konstitusi, dalam putusan Nomor 107/PUU-XIII/2015 Mahkamah menyatakan bahwa pengajuan grasi dapat dilakukan lebih dari satu tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Hal tersebut diputuskan MK dalam sidang pengucapan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi (UU Grasi) yang dimohonkan terpidana hukuman mati kasus Asabri, Su’ud Rusli, Rabu (15/6/2017) di Ruang Sidang Pleno MK.
Meski demikian, Mahkamah memahami kemungkinan penyalahgunaan pengajuan upaya grasi.
Misalnya saja, upaya grasi oleh terpidana atau keluarganya (terutama terpidana mati, red) digunakan untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan.
Terhadap hal tersebut, Mahkamah menyatakan jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu pengajuan grasi apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi.
Jaksa juga tidak perlu terikat dengan aturan jangka waktu pengajuan grasi ketika sudah menanyakan kepada terpidana atau keluarganya tentang rencana pengajuan grasi.
“Menurut Mahkamah, tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meskipun ketentuan demikian tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang a quo, sehingga demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.