JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono memberikan warna tersendiri bagi perayaan dan upacara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-72, yang berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/8/2017). Pertemuan Presiden kelima dan keenam RI tersebut menjadi sorotan utama yang menarik perhatian publik.
Bagaimana tidak, selama 13 tahun terakhir, keduanya tidak pernah hadir bersama-sama dalam acara hari kemerdekaan di Istana.
Momen terakhir keduanya bersama-sama merayakan HUT RI di Istana terjadi pada 2003 silam. Saat itu, Megawati masih menjabat sebagai Presiden, dan SBY menjadi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Pada Maret 2004, SBY memutuskan mengundurkan diri dari kabinet gotong royong yang dipimpin Megawati. Mantan Panglima Komando Daerah Militer II/Sriwijaya tersebut merasa kewenangannya sebagai Menko Polhukam sudah dicampuri oleh Megawati.
SBY dan Megawati pun sama-sama mengikuti pemilihan presiden 2004. Ajang pilpres dimenangkan oleh SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.
(Baca: Foto Saat Megawati dan SBY Salaman dalam Acara HUT RI di Istana)
Pada pilpres 2009, Ketua Umum PDI-P kembali mencoba peruntungan, namun lagi-lagi dikalahkan petahana yang berpasangan dengan Boediono.
Praktis selama dua periode atau 10 tahun SBY memimpin, Megawati sama sekali tidak pernah hadir dalam peringatan HUT RI di Istana. Padahal, undangan untuk para mantan presiden dan wakil presiden pasti dikirim setiap tahunnya.
Biasanya, Megawati diwakilkan oleh suaminya Taufiq Kiemas dan anaknya Puan Maharani.
Sementara, putri sang proklamator Soekarno lebih memilih memimpin upacara di kantor DPP PDI-P di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Namun, setelah PDI-P berhasil mengantarkan Jokowi ke tampuk kekuasaan, Megawati untuk pertama kalinya kembali ke Istana pada perayaan HUT RI tahun 2015.
Giliran SBY, yang pada tahun 2015 dan 2016 silam, lebih memilih merayakan HUT RI di kampung halamannya di Pacitan.
Baru akhirnya pada 17 Agustus 2017 kemarin, Megawati dan SBY bisa kembali reuni merayakan hari jadi Indonesia di kantor lamanya.
Salaman hingga foto bersama
SBY datang bersama istrinya, Kristiani Herrawati pukul 09.06 WIB. Ketua Umum Partai Demokrat itu mendapatkan sambutan cukup antusias dari banyak orang.
Dua putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono bersama istri, sebelumnya juga sudah hadir.
Pantauan Kompas.com, selama berlangsungnya acara hiburan dan upacara bendera, SBY dan Mega tidak berkomunikasi satu sama lain. Keduanya duduk terpisah.
(Baca: Sekjen PDI-P Sebut Pertemuan Megawati dan SBY Bukan Pertanda Koalisi)
Megawati duduk bersebelahan dengan Presiden ketiga RI Bacharudin Jusuf Habibie di kelompok kursi bagian kiri. Sementara itu, SBY bersama istri Ani Yudhoyono duduk di kelompok kursi bagian kanan. Keduanya terpisah karpet merah tempat untuk berjalan.
Meski demikian, SBY dan Ani sempat bersalaman dengan Megawati. Momen bersejarah tersebut tertangkap kamera staf SBY, Anung Anindito.
SBY dan Megawati terlihat saling menatap satu sama lain saat bersalaman. Senyum tipis terpancar dari wajah keduanya.
Sementara anak Megawati, Puan Maharani serta istri SBY, Ani Yudhoyono, tampak tersenyum lebar menyaksikan momen tersebut.
Usai acara, Jokowi mengajak semua mantan presiden yang hadir untuk masuk ke dalam istana dan berfoto bersama. Megawati mengambil posisi paling tengah diapit Jokowi dan JK. Habibie berada pada posisi paling kanan di sebelah Iriana Jokowi. Sementara SBY dan istrinya mengambil posisi paling kiri di sebelah Mufidah Kalla.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan jamuan makan siang dan ramah tamah. Tumpeng besar disajikan untuk para tamu VVIP. SBY enggan berkomentar saat ditanya pertemuannya dengan Megawati. Begitu pun Megawati, yang mengunci mulutnya rapat-rapat saat dicegat wartawan.
Namun, Ketua Umum PPP Romahurmuziy mengatakan, suasana jamuan makan siang yang diikuti SBY dan Megawati tersebut berlangsung sangat cair dan penuh keakraban.
"Saya senang karena melihat rukunnya seluruh pemimpin bangsa. Pak SBY dengan Bu Mega, semuanya saling bersalaman dan bertegur sapa dengan wajah yang tidak mengernyitkan kening," kata Romy.
Sementara Habibie yang ditanya wartawan, hanya berkomentar singkat.
"Kan bagus to persatuannya," kata dia.
Tak ada dendam
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menilai pertemuan Megawati dan SBY merupakan hal positif. Ia menyatakan, momen tersebut menunjukan semangat persatuan yang mampu mengatasi perbedaan paham pribadi dan tetap menunjukan rasa kebersamaan.
"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir, Bu Presiden Megawati Soekarnoputri hadir, ini merupakan hal yang sangat baik dan menunjukan bahwa kepemimpinan Pak Jokowi adalah kepemimpinan yang menyatukan," kata Hasto.
Namun, Hasto menegaskan bahwa pertemuan tersebut tidak bisa dimaknai akan ada koalisi antara PDI-P dan Demokrat.
"Tentu saja ini tidak bisa dimaknakan dalam perspektif politik untuk pemilu 2019, ini semua adalah semangat merah putih untuk bergandeng tangan sebagai pemimpin bangsa," kata Hasto.
(Baca: Ibas: Pertemuan SBY dan Megawati Tak Perlu Dibesar-besarkan)
Hal serupa disampaikan Edhie Baskoro atau Ibas, putera bungsu SBY. Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat ini meminta agar kehadiran SBY di Istana pada momen hari kemerdekaan tidak diartikan macam-macam.
"Artinya, bukan berarti kehadiran (SBY) itu selalu dimaknai terhadap suatu dukungan (ke pemerintah)," kata Ibas usai mengikuti upacara bendera.
Menurut dia, SBY sebagai Presiden keenam RI hadir karena menghargai undangan yang disampaikan pihak Istana Kepresidenan. Ibas meminta ketidakhadiran SBY dalam perayaan HUT RI di istana dua tahun sebelumnya, dan kehadirannya di tahun ini merupakan hal yang biasa dan tak perlu dibanding-bandingkan.
"Bisa saja tidak hadir, tidak harus setiap saat hadir," ucap Ibas.
Pengamat politik dari Universitas Gajah Mada Arie Sujito mengatakan, pertemuan Megawati dan SBY ini bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa tak ada dendam antar para pemimpin bangsa. SBY dan Megawati, kata dia, menunjukkan bahwa mereka memikirkan kepentingan yang lebih besar ketimbang persoalan pribadi.
"Paling tidak bisa menjadi rujukan bahwa sejarah negeri ini tidak berisi dendam dua mantan presiden," kata Ari.