Bung Karno pernah menulis surat kepada Jenderal Sudirman yang sebaris isinya berbunyi begini: "Ibaratnya, hatiku ini adalah kitab yang terbuka di hadapan Dinda. Politik pun Kanda satu buku yang terbuka bagi Dinda."
Bahkan Jenderal Sudirman yang jelas berseberangan dengan Bung Karno dalam pola perjuangan, akhirnya luluh pada perintah presiden yang ia sanjung sedemikian rupa.
Kini, perilaku seperti itu sulit kita temui dalam kancah politik tingkat tinggi di negeri ini.
"Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"
Begitu yang kerap kali diingatkan Bung Karno dalam setiap pidatonya--pascakemerdekaan.
Meski begitu, sebagai pendiri bangsa, selaku manusia Indonesia pertama, Bung Karno pun kewalahan melihat "bayi" negara yang ia idamkan tumbuh begitu cepat.
Partai Nasional Indonesia yang ia dirikan, bubar jalan. Lalu tumbuh menjamur partai-partai lain yang kelak unjuk gigi pada 1955 dalam Pemilu perdana.
Semua partai berdiri di atas kaki kepentingan. Bukan atas nama rakyat.
Bung Karno menyadari kecenderungan ini. Ia bubarkan konstituante dan memimpin langsung negara dengan dekritnya--dibantu Jenderal AH Nasution.
Demokrasi ideal yang ia agendakan terpaksa gigit jari. Pengaruh asing kadung beranak pinak dalam tubuh negara muda Indonesia. Sialnya, jejak kebanalan politik praktis waktu itu, masih kita rasakan hingga hari ini.
Orde kekuasaan telah bergonta-ganti hingga tiga kali. Ongkos politik melambung tinggi, membiayai kedegilan para politisi karbitan tak tahu diri.
Kemerdekaan kita dari penjajahan bangsa asing, tak sungguh benar raib dari ibu pertiwi.
Imperialisme kini bersalin rupa jadi liberalisme ekonomi.
Korporasi global tak pernah berhenti menjaring manusia modern masuk dalam lembah kemiskinan--tanpa kecuali.
Jika dulu nenek moyang kita berurusan dengan VoC, hari ini kita berhadapan dengan Google.