"SEKARANG tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah-air dalam genggaman tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya."
Begitu sebuah nukilan pidato Bung Karno pada peringatan kemerdekaan Indonesia, 72 tahun silam.
Pidato singkat itu dibacakan persis sebelum Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan kita.
Ratusan orang yang hadir pada momen luarbiasa tersebut, larut dalam gejolak perasaan tak terperi. Ratusan tahun berjuang akhirnya berbuah juga.
Jumat pagi itu, pejuang kemerdekaan--baik secara fisik maupun bangsawan pikiran, meletupkan energi besar yang sulit dibendung Belanda atau Jepang. Kita merdeka dengan tabularasa.
Sejujurnya, saya masih kesulitan mencerap suasana di Pegangsaan, dulu.
Tak hanya Bung Karno dan Bung Hatta yang diterjang lelah teramat sangat. Semua yang hadir kala itu, juga berada dalam kondisi yang sama.
Meski begitu, secara khidmat dan takzim yang tinggi, kemerdekaan kita tetap dikerek naik ke langit. Seiring lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman dikumandangkan, dan airmata peserta upacara pun berderaian.
Menjadi Bangsa Mandiri
Senarai memori dari tujuh dekade silam itu memang tinggal cerita dan telah jadi catatan sejarah belaka.
Tak semua kita sanggup menautkannya dengan kehidupan hari ini.
Lebih parahnya lagi, sedikit sekali dari kita yang sanggup menalar rentetan kejadian nun di hadapan buku sejarah kemerdekaan Indonesia itu.
Memang bukan kita yang tampil sebagai penentu bandul pendulum perjuangan Indonesia merdeka. Namun, di pundak kita lah kini, bakti pada negeri tercipta dititipkan. Lantas kita mau apa?
Tapi kenapa kita tak jua lelah bertengkar? Kita sibuk berbalahan. Saling tikai. Salah menyalahkan.