JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur PT Semangat Jaya Baru Nazwir Anas dan Direktur PT Afindo Prima Utama Temi Lukman Winata mengakui pernah menyerahkan uang kepada Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Dwi Widodo.
Uang tersebut diberikan para pengusaha biro jasa tersebut terkait penerbitan calling visa.
Hal itu dikatakan Nazwir Anas dan Temi saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Keduanya dihadirkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi untuk terdakwa Dwi Widodo.
"Awalnya saya tanya, Atase Imigrasi siapa sekarang? Saya bicarakan, kami kan kerja seperti ini agak sulit, bisa bantu apa tidak Pak?," kata Nazwir kepada jaksa KPK.
Baca: KPK Tetapkan Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur sebagai Tersangka Suap
Nazwir mengaku telah meminta bantuan Dwi untuk membuatkan calling visa bagi lebih dari 20 warga negara asing yang ingin datang ke Indonesia.
Untuk setiap orang yang ingin dibuatkan visa, Nazwir membayar Rp 2 juta kepada Dwi Widodo.
Dalam berita acara pemeriksaan (BAP), Nazwir mengaku telah memberikan uang sebesar Rp 73 juta kepada Dwi Widodo.
Para pemohon berasal dari negara-negara Afrika yang termasuk dalam kategori rawan.
Sementara itu, Temi mengakui bahwa ia sudah menyetorkan sekitar Rp 27,5 juta kepada Dwi. Untuk setiap pemohon calling visa, dikenakan biaya Rp 2,5 juta.
Setiap kali ada pemohon, Temi dan Nazwir membuat surat sebagai sponsor warga negara asing yang memohon visa.
Ia kemudian membuat surat permohonan kepada duta besar dan atase imigrasi. Setelah itu, dokumen milik pemohon diserahkan kepada Dwi untuk pengurusan calling visa.
Dalam kasus ini, Dwi didakwa menerima suap Rp 524 juta dan voucher hotel senilai Rp 10 juta.
Menurut jaksa, uang itu diberikan sebagai imbalan atau fee pengurusan calling visa.
Dwi mempunyai kewenangan dalam melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen/persyaratan terhadap warga negara asing yang mengajukan permohonan calling visa di KBRI Kuala Lumpur.
Para pemohon merupakan warga asing yang berasal dari negara-negara rawan.
Selain itu, ia juga didakwa menerima uang dari Satya Rajasa Pane yang seluruhnya berjumlah 63.500 ringgit Malaysia.
Uang itu diberikan sebagai imbalan pembuatan paspor dengan metode Reach-Out.
Dalam jabatannya, Dwi mempunyai kewenangan untuk menentukan disetujui atau tidaknya permohonan pembuatan paspor untuk para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.