JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie bercerita saat awal-awal Presiden Soeharto lengser. Saat itu, ia menceritakan banyak mendapat masukan dari berbagai pihak untuk mengambil kebijakan.
Kurang dari 24 jam Soeharto "lengser keprabon", Habibie mengaku didatangi berbagai pihak.
"Waktu Pak Harto lengser itu saya dapat laporan dari empat angkatan (TNI dan Polri), dari Menteri Luar Negeri, dari Menteri Dalam Negeri, dari keluarga besar Golkar, dari Pangab, dari pimpinan DPR, dari pimpinan MPR," kata Habibie saat menjadi pembicara dalam dialog kebangsaan di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Selasa (15/8/2017).
"Sepuluh masukannya. Itu tidak satu, bingung dong," ucap dia.
Merasa kurang mendapat masukan yang obyektif, ia pun memutar otak untuk menjalankan pemerintahan darurat yang dipimpinnya.
Habibie akhirnya memutuskan untuk mencari masukan langsung dari publik, termasuk dari pihak yang berseberangan darinya. Caranya, ia membuka keran demokrasi seluas-luasnya, utamanya kebebasan pers.
"Terus saya bilang bagaimana ya. Saya tidak tahu siapa yang benar. Karena garbage in, garbage out. Apa saya buat? Saya panggil Pak Wiranto, boleh cek. Hei, mulai sekarang tiap orang boleh berbicara seenaknya saja. Tiap orang boleh membuat surat kabar, tidak usah pakai izin," tutur Habibie.
(Baca juga: Cerita Habibie dan Pesan Persatuan...)
Selain itu, ia juga membebaskan para tahanan politik seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Tujuannya sama, Habibie ingin memperoleh masukan secara terbuka.
Habibie menceritakan saat itu Jaksa Agung justru kaget mendengarnya karena dua nama tersebut merupakan penentang utama pemerintah.
"Saya bilang semua yang berbeda pendapat kecuali yang ditahan berdasarkan ketetapan MPR, saya tidak berhak. Tahu bagaimana? Mereka langsung demo Habibie," ujar dia.
"Saya bilang, kalau dia berencana bunuh saya, silakan. Selama dia belum act, dia tidak bersalah. Saya punya intel juga sebagai yang berkuasa. Dengan melepaskan mereka tanpa disadari yang terjadi mereka mulai bertentangan dan masyarakat bisa menentukan (mana yang benar)," tutur Habibie.