JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil Tanpa Perppu Ormas menilai, diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan bukan solusi dalam mengatasi persoalan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme.
"Kami dukung upaya untuk mengatasi ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme, tetapi kami anggap upaya untuk mengatasi persoalan tadi bukan Perppu Ormas jawabannya," ujar Direktur Imparsial Al A'raf yang tergabung dalam koalisi tersebut, di Jakarta, Minggu (13/8/2017).
(Baca juga: Pemerintah Diingatkan Potensi Ormas Radikal Mengacau di Pilkada 2018)
Al A'raf berpendapat, persoalan yang sebenarnya bukan terkait regulasinya yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang kurang tegas, melainkan mengenai implementasi regulasinya yang lemah.
Akibat implementasi aturan yang tidak maksimal, kata dia, intoleransi terjadi. Ia mencontohkan penyerangan tempat ibadah. Menurut Al A'raf, sedianya polisi bisa mencegah agar penyerangan itu tidak terjadi.
"Jadi secara aturan hukum, dari berbagai aturan KUHP, konvensi hak sipil dan lainnya sudah banyak. Itu bisa dijadikan sebagai dasar negara mengatasi masalah itu," ujar dia.
"UU Ormas sudah memberi peluang yang besar, mengatasi masalah terburuk yakni ormas bisa dibubarkan. Itu bisa jadi payung bagi negara jika ormas bertentangan dengan Pancasila salah satunya," ujar Al A'raf.
(Baca juga: Mendagri: Ormas yang Dibubarkan Tak Hanya Berbasis Keagamaan)
Penerbitan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menuai pro dan kontra.
Pihak yang kontra menganggap langkah pemerintah tersebut sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berserikat.
Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa semua organisasi kemasyarakatan (ormas) bisa dibubarkan oleh pemerintah berdasarkan Perppu Ormas.
Berdasarkan Perppu Ormas, pembubaran ormas dapat dilakukan langsung oleh pemerintah. Ormas yang tidak puas kemudian punya kesempatan untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Sementara itu, sebagian pihak lainnya menilai perppu ini lebih demokratis dibadingkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang digantikan perppu tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.