SOLO, KOMPAS.com - Park Geun-hye mencatatakan tinta emas sebagai presiden perempuan pertama Korea Selatan. Perjalanannya begitu menginspirasi, tetapi siapa yang sangka perjalanan politik dia tak semulus harapan.
Di balik capaian dan prestasi, Park juga tercatat sebagai presiden pertama yang dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) negara ginseng tersebut. Sejarah itu tercatat sebagai titik balik demokrasi di Koea Selatan.
Kisah tersebut kemudian dibuka kembali olehHakim MK Korea Selatan Lee Jinsung di hadapan peserta Simposium Internasional Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis se-Asia (AACC) di Solo, Jawa Tengah, Kamis (10/8/2017).
“Ini menjadi pembelajaran bagi presiden maupun pejabat publik agar tidak menyalahgunakan kekuasaan," ujarnya tegas.
Lee mengisahkan, pada Juli 2016 di Korea Selatan merebak skandal korupsi yang dilakukan Park. Kabar itu membuat media massa ramai memberitakan kasus rasuah yang melilit pemimpin mereka.
Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Park kala itu adalah dugaan menekan sejumlah perusahaan besar agar memberikan uang kepadanya untuk kelancaran bisnis. Uang tersebut digunakan Park untuk mendirikan yayasan demi keuntungan pribadi.
Setelah itu, Park sempat menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Akan tetapi, hal itu ternyata tidak cukup meredam amarah publik. Skandal justru terus menggelinding.
"Amarah publik begitu meluap, hingga akhirnya lebih dari 10 juta orang turun ke jalan menuntut (Park) mundur," ucap Lee.
Meski begitu, Park tetap menolak mundur dari jabatannya. Hingga akhirnya, aksi jalanan itu berlanjut dengan dorongan kepada parlemen Korea Selatan untuk memakzulkan Park.
Parlemen akhirnya menyetujui desakan publik. Sidang istimewa resmi digelar pada penghujung 2016. Hasilnya, parlemen menyetujui pemakzulan Park dengan keunggulan mutlak dalam voting.
Setelah sejumlah sidang, MK Korea Selatan memutuskan bahwa Park terbukti melanggar konstitusi dan mesti dimakzulkan. Park dinilai telah melanggar amanah rakyat dan melukai semangat demokrasi dan prinsip anti-korupsi.
"Itu (skandal korupsi) pelanggaran berat. Amat mencoreng demokrasi dan hukum," tegas Lee.
Patuh hukum
Lebih lanjut, Lee mengatakan, kasus pemakzulan Park menjadi catatan sejarah yang membuat demokrasi Korea Selatan semakin kaya pengalaman.
Menurut Lee, seorang kepala negara sekalipun dapat dilengserkan tatkala menyalahgunakan mandat rakyat. Dalam kasus Park, perempuan presiden pertama itu mesti melepas jabatan setahun lebih cepat dari periode seharusnya.
"Rakyat kelas apapun harus menghargai konstitusi, termasuk presiden," ucapnya.
Lee kemudian menutup paparannya dengan sebuah kalimat. "Demokrasi modern banyak tantangan, akan tetapi prinsip fundamental konstitusi selalu menang," tambah Lee.
Sebagai informasi, Simposium Internasioal AACC merupakan kegiatan puncak untuk menutup masa kepemimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia sebagai Presiden AACC 2014-2017 sekaligus memperingati HUT MK ke-14.
Rangakain acara Simposium Internasional telah berlangsung sejak Senin (6/8/2017) dan berakhir hari ini. Adapun sebanyak 13 delegasi anggota AACC hadir dalam simposium tersebut.