JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai perlu adanya sosialisasi yang komprehensif dan berkelanjutan mengenai implementasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Menurut Supriyadi, penanganan perkara oleh hakim yang tidak sensitif gender kerap terjadi. Di sisi lain, penanganan perkara dalam konteks peradilan tidak hanya melibatkan hakim.
Terdapat juga aparat penegak hukum lain misalnya kepolisian dan kejaksaan yang justru merupakan lembaga yang secara langsung dan pertama berinteraksi dengan perempuan yang berperkara.
Dalam beberapa kasus, kata Supriyadi, justru kepolisian yang berperan menjadikan perkara yang melibatkan perempuan diproses atau tidak.
"ICJR mendorong perlunya pemahaman yang sama antarlembaga dalam hal ini aparat penegak hukum untuk menjamin kesetaraan gender tersebut terlaksana di setiap tahap proses penyelesaian perkara," ujar Supriyadi kepada Kompas.com, Kamis (10/8/2017).
Supriyadi menuturkan, keberadaan Perma Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum sangat diperlukan terutama dalam peradilan pidana.
Sebelum lahirnya perma ini, terdapat inkonsistensi persepsi hakim terkait dengan proses peradilan yang melibatkan perempuan.
Supriyadi menuturkan, terdapat beberapa putusan hakim yang memberikan pertimbangan-pertimbangan yang justru menjauhkan perempuan untuk mendapatkan akses keadilan.
Dalam beberapa kasus, lanjut Supriyadi, hakim justru memberikan pertimbangan yang tidak relevan dengan menjabarkan perbuatan-perbuatan korban yang dinilainya melanggar ketertiban umum, seperti riwayat seksual korban.
"Hal ini justru membuat korban semakin sulit memperoleh keadilan," kata dia.
(Baca juga: Diskriminasi Gender, Tujuh UU Terkait Perempuan Ini Perlu Diubah)
Supriyadi memandang Perma tersebut memberikan pedoman bagi hakim untuk mengkaji relasi kuasa pada saat mengadili perkara yang melibatkan perempuan.
Adanya perma ini juga juga dinilai dapat dijadikan sebagai momentum yang baik bagi lahirnya putusan-putusan yang progresif dalam hal mengakomodasi hak-hak korban, khususnya perempuan, dan mengantisipasi penafsiran rumusan-rumusan tindak pidana yang justru merugikan korban.
Pasal 5 Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum menyatakan hakim dilarang untuk menujukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi ataupun membenarkan terjadinya diskriminasi gender termasuk di dalamnya mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan pengalaman atau latar belakang seksual soal korban.
Pada Pasal 6, Perma itu juga mengatur tentang pedoman bagi hakim untuk mempertimbangkan dan menggali nilai-nilai untuk menjamin kesetaraan gender.
"Hal ini dapat menjadi titik balik lahirnya putusan-putusan yang progresif menafsirkan rumusan yang menjamin kesetaraan gender. Yang patut diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana tindak lanjut lahirnya Perma ini," ucap Supriyadi.