JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, selama ini pihaknya membangun kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melindungi saksi.
Ada nota kesepahaman yang sudah ditandatangani agar pelapor, saksi, atau pun whistleblower di KPK bisa dilindungi menggunakan fasilitas LPSK, termasuk rumah aman atau safe house.
"MoU-nya ada, sudah sejak lama antara LPSK dan KPK," kata Edwin kepada Kompas.com, Rabu (9/3/2017).
Meski demikian, Edwin mengatakan, tidak semua saksi KPK dilindungi LPSK. Biasanya, kata dia, saksi atau pelapor, sebelum menyampaikan laporan ke KPK, datang dulu ke LPSK untuk meminta perlindungan.
Ada juga yang setelah lapor atau menjadi saksi KPK baru datang ke LPSK. Atau, bisa juga KPK yang memberikan rekomendasi saksi yang harus dilindungi.
Edwin pun mengakui bahwa di antara saksi tersebut, ada yang dilindungi di rumah aman atau safe house milik LPSK.
(Baca: Masinton Sebut KPK Punya Rumah Sekap untuk Mengondisikan Saksi Palsu)
"Tapi tidak semua terlindung itu ditempatkan dalam safe house. Jadi yang ditempatkan di safe house hanya yang masuk kategori sangat terancam jiwanya," kata dia.
Menurut Edwin, kerja sama dengan KPK dan LPSK dalam perlindungan saksi ini sudah sesuai dengan Undang-undang yang mengatur keberadaan dua lembaga.
Dalam Pasal 15 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002, disebutkan jika KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
Meski demikian, kata Edwin, memang di dalam UU tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai pengelolaan safe house yang dilakukan KPK. Hanya dijelaskan, perlindungan dalam UU KPK melingkupi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
(Baca: Jubir KPK: Sayang Sekali Anggota DPR Tidak Bisa Bedakan "Safe House" dengan Rumah Sekap)
Beda halnya dengan yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam pasal 12 A ayat (1) butir f hingga h dinyatakan, LPSK berwenang mengelola rumah aman, memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman, serta melakukan pengamanan dan pengawalan.
Namun, Edwin mengaku tidak tahu apakah ada safe house yang dikelola sendiri oleh KPK tanpa bekerjasama dengan LPSK. Jika pun ada, Edwin enggan berkomentar soal legalitas safe house tersebut.
"Ya kalau soal itu saya tidak mau komentari. Saya tidak mau masuk ke situ," kata dia.
Wakil Ketua Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqulhadi mempertanyakan safe house yang disebut oleh KPK sebagai tempat perlindungan saksi.
Menurut dia, safe house dibentuk oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), tak boleh dibentuk oleh lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan. Ia mengatakan, KPK harus berkoordinasi dengan LPSK.
(Baca: Pansus Angket Akan Kunjungi "Rumah Sekap" KPK)
"Mana ada safe house. Kan enggak ada dalam UU. UU mana yang membenarkan dia boleh menggunakan nama safe house. UU mana yang memperbolehkan dia membuat tempat perlindungan sendiri. Kan tidak ada," kata Taufiqulhadi, saat dihubungi, Rabu (9/8/2017).
Keberadaan safe house yang digunakan KPK mencuat setelah Anggota Pansus KPK Masinton Pasaribu menyebut lembaga antirasuah itu memiliki rumah sekap untuk mengkondisikan saksi palsu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Pansus tak bisa membedakan antara safe house dengan rumah untuk kebutuhan perlindungan saksi.
"Sayang sekali ada yang tidak bisa membedakan antara safe house untuk kebutuhan perlindungan saksi, dengan rumah sekap," ujar Febri, kepada Kompas.com, Sabtu (5/8/2017).
"Seharusnya, sebagai anggota DPR, yang bersangkutan dapat membedakan hal tersebut," lanjut dia.
Namun, Febri tak menjelaskan apakah yang dimaksud adalah rumah sekap milik LPSK atau rumah sekap yang dikelola sendiri oleh KPK.