Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam Sidang MK, Yusril Sebut Tak Ada Kegentingan Buat Perppu Ormas

Kompas.com - 07/08/2017, 15:16 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dianggap tidak memiliki kegentingan untuk menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat.

Hal itu menjadi salah satu alasan yang disampaikan Yusril Izha Mahendra dalam sidang uji materi terhadap Perppu Ormas di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (7/8/2017).

Uji materi diajukan oleh juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto.

Adapun tiga hakim konstitusi dalam sidang panel ini adalah Wakil Ketua MK Anwar Usman serta Hakim konstitusi Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna.

(baca: Menurut MUI, Ideologi dan Aktivitas HTI Bertentangan dengan Pancasila)

Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan, Yusril selaku kuasa hukum pemohon menyampaikan perihal permohonan pengujian formil dan materiil.

Pada gugatan formil, Yusril mempertanyakan prosedur pembentukan Perrpu Ormas. Menurut Yusril, tidak ada kegentingan yang menerangkan perihal pembentukan Perppu Ormas.

"Dasar pembentukan perppu (harus) sesuai asas kegentingan yang memaksa sesuai dengan ketentuan undang-undang yang diatur dalam pasal 22 Ayat 1 (UUD 1945)," kata Yusril.

(baca: Hindari Persekusi, Salah Satu Alasan Penerbitan SKB Mantan Anggota HTI)

Pada objek materiil, secara spesifik yusril mempersoalkan dihapuskannya badan peradilan sebagai pihak yang berwenang menilai suatu ormas bertentangan dengan Pancasila atau tidak.

"Dulunya, itu pengadilan lah yang harus menilai, sebab kalau ada dispute (perbedaan pendapat) seperti HTI, ajaran Khilafah misalnya, pemerintah mengatakan itu bertentangan dengan Pancasila, (tetapi) HTI bilang 'tidak', kan mesti ada pihak ketiga yang memutuskan. Saya pikir itu adalah due process of law," kata Yusril.

"Sepanjang awal reformasi kita banyak sekali bicara tentang check and balances. Supaya kewenangan pemerintah itu dibatasi, ada check and balances dari lembaga lain. Karena itu kalau dispute mestinya diselesaikan melalui pihak ketiga oleh pengadilan, tapi semua ini dieliminir oleh Perppu dan kewenangan untuk menilai (suatu ormas) bertentangan dengan Pancasila, sepenuhnya adalah kewenangan pemerintah," tambah dia.

(baca; HTI: Yang Hate Speech Itu Ulah Oknum)

Pada sidang sebelumnya, Yusril membandingkan penerbitan Perppu Ormas dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diterbitkan setelah peristiwa Bom Bali.

Pasca-penerbitan Perppu Terorisme, aparat keamanan langsung bergerak menangkap orang-orang yang diduga terlibat tindak pidana khusus tersebut.

"Perppu Terorisme diumumkan pada jam 01.30 dini hari, dan pagi-pagi, semua, TNI dan polisi, bergerak menangkapi mereka yang disangka terlibat dalam terorisme," kata Yusril di MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2017).

Namun, hal berbeda justru ditunjukkan pemerintah dalam menanggapi HTI yang dinilai mengancam.

Pembubaran HTI dilakukan sekitar 10 hari setelah Perppu Ormas diterbitkan.

Menurut Yusril, andai HTI merupakan ormas yang mengancam, maka dalam kurun waktu 10 hari itu bisa saja melakukan pemberontakan dan berupaya menggantikan Pancasila.

Namun hal itu tidak dilakukan HTI.

Fakta tersebut, menurut Yusril, menimbulkan pertanyaan apakah penerbitan Perppu Ormas memang dalam situasi genting.

Kompas TV Negara-Negara Ini Juga Bubarkan Hizbut Tahrir
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com