JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan, warga Nahdliyin, massa Nahdlatul Ulama yang menjadi basis massa PKB, menolak keras kebijakan sekolah lima hari atau full day school yang diterapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.
Menurut Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin, kebijakan yang diterapkan dengan paksaan tersebut sangat berbahaya dan dapat mengganggu pendidikan yang dibangun para kiai dan ulama yang sudah menjadi tradisi, seperti madrasah diniyah atau pondok pesantren.
"Kami semua warga Nahdliyin menolak keras full day school (sekolah lima hari)," kata Cak Imin, di Jakarta, Senin (7/8/2017).
"Kami menolak keras pemaksaan dan penyeragaman Mendikbud melalui full day school yang akan memberangus dan merusak bangunan tradisi yang sudah ada berabad-abad di Indonesia," ujar dia.
Cak Imin mengatakan, sejumlah sekolah di Jawa Tengah yang sudah menerapkan kebijakan ini, menjadi perhatian para kiai dan ulama. Cak Imin mengklaim bahwa para kiai dan ulama resah dengan kebijakan Muhadjir Effendy tersebut.
Dengan adanya program itu, maka dikhawatirkan para siswa tidak lagi bisa mengikuti pendidikan di madrasah diniyah, yang berjalan di luar jam sekolah.
Menurut Cak Imin, dia telah beberapa kali bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo, menyampaikan keresahan para kiai dan ulama atas kebijakan ini. Menurut Cak Imin, Presiden selalu menyanggupi untuk melakukan kajian ulang.
"Saya optimistis akan didengar. Dan Kemendikbud tidak mengeneralisasi kebijakan ini di seluruh tempat," kata Cak Imin.
Dalam kesempatan sama, Sekretaris Jenderal DPP PKB Abdul Kadir Karding mengatakan, telah banyak kajian yang menyebutkan kebijakan sekolah lima hari berdampak terhadap menurunnya aktivitas belajar mengajar di madrasah diniyah dan pondok pesantren.
Namun, Karding tidak menjelaskan lebih lanjut kajian mana saja yang dimaksud.
(Baca juga: "Full Day School" Dinilai Menambah Beban Ekonomi Orangtua Siswa)
Karding hanya mengatakan bahwa peran santri, ulama, madrasah diniyah dan pondok pesantren tidak terbantahkan lagi.
"Buktinya pemerintah mengakui Hari Santri," ucap Karding.
Menurut Karding, peran madrasah diniyah dan pondok pesantren adalah untuk pendidikan karakter. Dia khawatir adanya kebijakan sekolah lima hari justru bertentangan dengan upaya pembangunan karakter.
Selain itu, Karding juga tidak ingin jumlah para santri semakin menyusut. Saat ini, kata dia, ada sekitar 9 juta santri, 7 juta madrasah, dan 8 juta murid TPA.
"Mudah-mudahan bisa mendorong pemerintah mendengar aspirasi dari rakyat untuk mencabut kebijakan Kemendikbud," ucap Karding.