JAKARTA, KOMPAS.com - Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Sosial pada 2013, sebanyak 6,3 persen dari populasi anak-anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Pada periode yang sama, sebanyak 6,4 persen dari populasi anak-anak laki-laki juga mengalami kekerasan seksual.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, jumlah anak-anak di Indonesia saat ini mencapai sekitar 87 juta atau 34 persen dari total penduduk.
Menurut Pribudiarta, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak terlihat semakin meningkat, karena orang-orang makin sadar mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak.
"Perlindungan anak berbasis masyarakat efektif untuk meningkatkan kewaspadaan dan deteksi dini terhadap potensi kekerasan," kata Pribudiarta dalam seminar bertajuk "Pembelajaran Upaya Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Kekerasan Seksual terhadap Anak di Masyarakat Adat dan Perkotaan" di Jakarta, Selasa (1/8/2017).
Pemerintah menargetkan pada 2030 mendatang, tidak terjadi lagi kekerasan terhadap anak dan kesetaraan gender bisa terwujud.
Oleh sebab itu, dia pun menuturkan keterlibatan seluruh pihak termasuk masyarakat sangat berperan penting dalam pencapaian target ini.
Seminar dihadiri oleh berbagai kelompok masyarakat, salah satunya dari Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD) Kuta Lombok Tengah.
TGH Abussulhi Khairi dari LPAD Kuta mengatakan, banyak tantangan dalam melakukan perlindungan terhadap anak, tak terkecuali tantangan adat.
Di Lombok Tengah, kata Abussulhi, masih banyak kejadian kawin-cerai di mana si laki-laki adalah seorang dewasa yang mengincar perempuan yang masih tergolong usia anak-anak.
Kawin paksa dan pembatasan kesempatan pendidikan juga banyak terjadi karena kepercayaan masyarakat yang menganggap peran perempuan hanyalah di dalam rumah.
"Tempat kami juga menjadi kawasan ekonomi khusus (pariwisata), marak sekali kafe-kafe ilegal dan prostitusi," kata Abussulhi.
(Baca juga: Mayoritas Anak Korban Kekerasan Seksual Tidak Mau Melanjutkan Sekolah)
Namun, beruntung berkat sekadar masyarakat yang mulai terbangun, sebanyak 20 kafe ilegal ditutup oleh pemerintah daerah setempat.
Selain terjadi di masyarakat rural, kekerasan seksual terhadap anak juga banyak terjadi di daerah perkotaan.
Menurut Endang Supriyati dari Yayasan Bandungwangi, Jakarta, sosialisasi kepada masyarakat akan kekerasan seksual terhadap anak harus terus dilakukan.
"Sosialisasi bisa dilakukan di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang saat ini banyak ada di Jakarta," kata Endang.
Endang mengatakan, orang tua kini semakin dituntut perannya dalam perlindungan terhadap anak.
Sebagai bagian dari deteksi dini, orang tua juga diharapkan membangun komunikasi yang erat dengan anak, dan mau mendengarkan apapun permasalahan anak.