JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Puskapol Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani mengatakan, keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009 dan 2014 jumlahnya masih stagnan sebesar 18 persen.
Namun, belum dapat diprediksi apakah Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan dalam sidang paripurna pekan lalu dapat meningkatkan keterwakilan perempuan.
"Apakah persentase keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD akan meningkat pada 2019?" kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (28/7/2017).
Sri lebih lanjut mengatakan, sejumlah perubahan yang ada dalam Undang-Undang Pemilu yang baru dapat memengaruhi naik-turunnya persentase keterwakilan perempuan.
Pertama, kenaikan ambang batas suara parlemen menjadi 4 persen, dari yang mulanya 3,5 persen. Kenaikan parliamentary threshold ini menyebabkan pertarungan partai-partai untuk bisa mencapai 4 persen semakin ketat.
"Ditambah lagi performa, citra, dan kepercayaan masyarakat kepada politisi itu saat ini berada di titik nadir. Sehingga persaingan itu semakin berat," ucapnya.
Kedua, metode konversi suara Saint Lague dikhawatirkan menjadi kendala. Sri mengatakan, metode kuota Hare memiliki kelebihan dalam hal proposionalitas. Artinya, tetap terbuka peluang partai tengah untuk mendapatkan relatif satu kursi.
Dengan metode kuota Hare, perempuan yang ada di nomor urut satu dengan suara paling banyak, dan partainya mendapat satu kursi di parlemen, kemungkinan akan terpilih.
"Tapi ketika diubah menjadi Saint Lague, problem-nya metode ini adalah siapa yang memperoleh suara terbanyak, peluang mendapatkan kursi semakin besar," kata Sri.
Dengan metode Saint Lague, maka kekuatan partai dalam setiap daerah pemilihan (dapil) akan sangat berpengaruh. Padahal, saat ini persaingan di tingkat dapil sangat ketat. Caleg perempuan pun harus bekerja ekstra keras untuk memenangkan kompetisi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.