JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung dianggap melakukan pelanggaran administrasi atas eksekusi mati terhadap warga negara Nigeria Humprey Ejike Jefferson.
Hukuman mati dilakukan saat Humprey tengah mengajukan grasi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum mengatakan, keputusan hukuman mati sudah memenuhi ketentuan yang berlaku.
"Yang kita lakukan itu sudah sesuai dengan aturan," ujar Rum saat dihubungi, Jumat (28/7/2017).
(baca: Kejaksaan Agung Dinilai Langgar Putusan MK Terkait Eksekusi Mati Humprey Jefferson)
Rum mengatakan, kejaksaan telah melewati tahap penilaian dari segala aspek untuk menentukan daftar terpidana mati yang akan dieksekusi.
Menurut dia, kejaksaan juga telah memastikan bahwa hak setiap terpidana itu sudah terpenuhi.
"Terlepas dari rekomendasi Ombudsman, kejaksaan selaku eksekutor sudah memberikan hak hukum kepada terpidana," kata Rum.
Sebelumnya, Ombudsman menganggap Kejaksaan Agung melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 107/PUU-XIII/2015 karena Humprey tengah mengajukan grasi.
Pasal 7 (2) UU 5/2010 tentang Perubahan UU 22/2002 tentang Grasi menyebutkan, permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, menurut pelapor, yakni kuasa hukum Humprey, eksekusi mati seharusnya tidak dilaksanakan karena tengah proses pengajuan grasi tersebut.
Sesuai Pasal 13 UU tentang Grasi, bagi terpidana mati, kuasa hukum, atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
Selain itu, Ombudsman berpendapat, Kejaksaan seharusnya memberitahukan kepada terpidana dan/atau kuasa hukum, apabila terdapat pertimbangan lain sehingga eksekusi harus dilaksanakan lebih cepat.
Jika merujuk Pasal 6 (1) Undang-undang Nomor 2 PNPS Tahun 1965 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, jaksa tinggi/jaksa memberitahukan terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati pada tiga kali 24 jam (72 jam) sebelum pelaksanaan pidana mati. Faktanya, pemberitahuan eksekusi dilakukan kurang lebih 57 jam sebelumnya.
"Dalam kasus ini ada beberapa hak yang dilanggar oleh Kejaksaan Agung maupun PN Jakarta Pusat, penjatuhan hukuman mati setidaknya ada pemberitahuan tiga kali 24 jam dan itu tidak dilakukan," ujar Ninik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.