DEPOK, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim mengatakan, sanksi pidana dalam Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat tidak seseram yang dibayangkan orang.
Ifdhal mengatakan, penerapan sanksi pidana dalam perppu ini tentu tidak secara serampangan dilakukan.
"Tentu ada langkah-langkah yang objektif yang dilakukan, karena itu tidak serta merta harus diambil sanksi pidananya," kata Ifdhal.
Hal tersebut disampaikan Ifdhal usai diskusi publik bertema "Pro dan Kontra Perppu No 2 Tahun 2017 dalam Tinjauan Hukum Tata Negara" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (21/7/2017).
(baca: Aturan Sanksi Penjara dalam Perppu Ormas Bisa Jerat Para Pengikut HTI)
Sanksi pidana pada perppu ini, lanjut dia, prinsipnya ultimum remedium. Artinya, kata Ifdhal, sanksi pidana merupakan jalan terakhir ketika sanksi administratif tidak efektif.
"Jadi kalau sarana administratifnya berjalan, dipatuhi dan dilakukan, tidak perlu menggunakan sanksi pidana," ujar Ifdhal.
Jadi, supaya sanksi administratif ini bisa bekerja, perlu ada ancaman sanksi pidana. Namun, dia menegaskan, sanksi pidana ini tidak akan digunakan sebelum sanksi administratifnya bekerja dulu.
(baca: Menkumham: Ada 325.887 Ormas Berbadan Hukum yang Perlu Diawasi)
Sebagai contoh, suatu organisasi dicabut badan hukumnya atau dibatalkan karena melakukan penyebarluasan ajaran yang bertentang dengan Pancasila.
Jika orang atau pengikut organisasi tersebut setelah adanya pencabutan organisasinya tidak melakukan perbuatan yang sama alias pasif, maka tidak terkena pidananya.
Namun, jika melakukan lagi dan ada unsur kesengajaan, dia bisa dipidana.
"Sepanjang dia tidak melakukan aktivitas, jadi orang pasif, enggak ada masalah. Misalnya, saya terdaftar anggota, setelah pelarangan ini saya pasif aja, enggak ada masalah. Kecuali dia melakukan penyebarluasan," ujar Ifdhal.
(baca: Ormas Apa yang Akan Dibubarkan Setelah HTI? Ini Jawaban Jokowi)
Dia menampik perppu ini sebagai tindakan otoriter. Karena, kata Ifdhal, tidak ada pelibatan langsung dari kekuasaan tertinggi negara.
"Ini kan hanya tindakan pejabat tata usaha, untuk mengawasi dan mengambil tindakan dari pengawasannya itu terhadap izin yang dia berikan, asas contrario actus itu," ujar Ifdhal.