Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti LIPI: Meski Menuai Kritik, Substansi Perppu Ormas Dibutuhkan

Kompas.com - 19/07/2017, 20:17 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai bahwa dari aspek hukum terdapat banyak kelemahan dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).

Namun jika dilihat dari aspek subtansi, Perppu tersebut dibutuhkan untuk menangani keberadaan ormas yang diduga memiliki tujuan menghancurkan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

"Saya pikir, terkait Perppu itu kita bisa memahami, menurut banyak ahli hukum ada masalah di sana. Tetapi secara substansi bagaimanapun kita butuhkan juga. Tantangan kita bukan hanya menyelamatkan demokrasi tetapi juga menyelamatkan eksistensi republik ini," ujar Syamsuddin saat menghadiri diskusi bertajuk Sudah Tepatkah RUU Pemilu dan Perppu Ormas? di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (19/7/2017).

Syamsuddin mengatakan, salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini adalah menangani keberadaan ormas-ormas radikal. Meski demikian ia mengkritik mekanisme pembubaran ormas tanpa melalui pengadilan.

(Baca: Wiranto Bantah Penerbitan Perppu Ormas Sarat Kepentingan Politik)

"Kalau saya menangkap suasananya membahayakan. Di situ kita bisa memahami substansi walaupun kita tolak pembubaran ormas melalui menteri. Sebaiknya memang melalui pengadilan," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM-UIN) Jakarta Ali Munhanif memandang bahwa pemerintah telah mengambil langkah politik yang tepat dengan menerbitkan Perppu Ormas.

Menurut Ali, saat ini banyak bermunculan ormas radikal dan organisasi yang berorientasi pada aksi kekerasan. Dia pun menyebut semakin banyak masyarakat yang percaya pada konsep khilafah.

"Menurut saya secara politik tepat waktu. Dengan banyaknya organisasi yang berorientasi pada radikalisme dan kekerasan, semakin banyak orang percaya pada khilafah," ujar Ali.

(Baca: Jokowi Minta Ulama Redam Gejolak Penolakan Perppu Ormas)

Ali mengatakan, jika melihat gejolak sosial yang ada saat ini dan hasil berbagai survei, bisa ditafsirkan adanya situasi kegentingan yang memaksa sebagai dasar penerbitan perppu.

Adanya aksi teror dan orang-orang yang menyatakan dukungannya terhadap ISIS, kata Ali, merupakan akibat dari maraknya ormas-ormas radikal.

Sementara itu, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan ada 9,2 persen responden yang setuju NKRI diganti menjadi negara khilafah atau negara Islam. Pemerintah pun berhak menafsirkan faktor kegentingan yang memaksa secara sepihak.

"Pemerintah berhak menafsirkan faktor genting. Hasil survei SMRC, yakni 9 persen responden setuju khilafah. Memang kecil, tapi dari ukuran jumlah penduduk, maka sekitar 10 sampai 15 juta orang yang berpandangan seperti itu," kata Ali. 

Kritik terhadap Perppu Ormas

Sebelumnya, kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa di dalam Perppu Ormas terdapat beberapa pasal yang bersifat karet, tumpang tindih dengan peraturan hukum lain dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dia mencontohkan pasal 59 ayat (4) sebagai salah satu pasal yang bersifat karet. Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan, "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945."

Namun, lanjut Yusril, Perppu tersebut tidak menjelaskan secara detail mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah.

"Pasal ini karet karena secara singkat mengatur paham seperti apa yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam bagian penjelasan tidak mengatur norma apapun," kata dia.

"Dan penafsiran sebuah ajaran, kalau tidak melalui pengadilan, maka tafsir hanya berasal dari pemerintah. Tafsir anti-Pancasila bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya menafsirkan," ucapnya.

Kompas TV Menurutnya pemerintah punya bukti yang kuat terkait kasus pembubran HTI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Nasional
Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Nasional
Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Nasional
Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Nasional
Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com