JAKARTA, KOMPAS.com - Masa jabatan hakim konstitusi yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi tetap selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Hal itu menjadi kesimpulan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi yang diajukan oleh Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI).
Dalam putusannya MK menolak permohonan CSSUI.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK, Arief Hidayat dalam sidang putusan di MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/7/2017).
(baca: CSS UI: Yang Kami Mohon ke MK adalah Masa Jabatan Hakim Hingga Pensiun)
Alasannya, MK menilai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
CSSUI sebelumnya beralasan bahwa sebagai lembaga penelitian yang mengkaji dampak dari suatu kebijakan, pihaknya berhak mengajukan uji materi.
Perihal masa jabatan hakim selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya dinilai CSSUI membuat pelaksanaan tugas tidak maksimal.
Sebab, seorang hakim menjadi tidak dapat memberikan kemampuan dan pemikiran terbaiknya secara maksimal demi terwujudnya negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Oleh karena itu, CSSUI selaku pemohon juga dirugikan dengan ketentuan tersebut.
(baca: "Lebih Baik MK Tak Memproses Uji Materi Masa Jabatan Hakim Konstitusi")
Namun demikian, Mahkamah menilai tidak ada relevansi antara latar belakang pembentukan CSSUI dengan pokok permohonan.
Terlebih lagi, Pemohon tidak melampirkan bukti Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga CSSUI yang memungkinkan Mahkamah mempertimbangkan ada atau tidaknya kepentingan hukum Pemohon yang berkaitan dengan norma undang-undang yang diuji.
Sebelumnya, uji materi terkait masa jabatan hakim yang dajukan CSSUI sempat menjadi polemik di kalangan pengamat.
Bahkan, sejumlah pihak meminta agar MK tak memproses uji materi tersebut. Sebab, dikhawatirkan akan timbul konflik kepentingan di dalam hakim MK itu sendiri.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, ada asas umum di dunia hukum yang menyebutkan bahwa seorang hakim tidak boleh mengadili persoalan atas dirinya. Dalam bahasa latin disebut "nemo judex in causa sua".
Selain itu, adanya masa jabatan guna mencegah kerancuan sistem.
"Tanpa pembatasan akan menimbulkan kecenderungan korup di kemudian," kata Fadli di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (28/11/2016).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.