JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka. Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP).
Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz, sudah sepatutnya Setya mengundurkan diri dari jabatannya.
"Untuk menghadapi proses hukum, SN harus mundur sebagai Ketua DPR," ujar Donal melalui keterangan tertulis, Senin (17/7/2017) malam.
Hal ini ditujukan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang sebagai pimpinan lembaga negara untuk melawan proses hukum. Pengunduran diri Setya juga untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.
(Baca: 10 Fakta Sidang soal Peran Setya Novanto dalam Kasus E-KTP)
Sebelum Novanto, KPK menetapkan politisi Partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka karena dianggap menghalangi penyidikan dalam kasus e-KTP. Menurut Fariz, semestinya Partai Golkar berbenah karena dua kadernya tersangkut kasus di KPK dalam kasus ini.
"Partai Golkar harus segera melakukan pembenahan internal untuk untuk mengganti pimpinannya yang bermasalah," kata Donal.
Selain itu, Partai Golkar juga diminta mendukung proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK agar citra partai tidak semakin terbenam.
Dalam kasus ini, KPK menduga Novanto menggunakan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong untuk mengkondisikan proyek e-KTP yang menggunakan anggaran senilai Rp 5,9 triliun.
Hubungan antara Novanto dan Andi Narogong diketahui setelah KPK mencermati fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, untuk terdakwa dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
"Setelah mencermati fakta persidangan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan satu tersangka," kata Ketua KPK Agus Raharjo.