JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril berpendapat, hak angket tidak bisa menyasar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebab, KPK bukan termasuk lembaga eksekutif.
Hal ini disampaikan Oce menanggapi pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang menganggap bahwa hak angket bisa ditujukan terhadap KPK karena KPK bagian dari eksekutif.
Ia mempertanyakan konstruksi logika yang dibangun oleh Yusril.
"Saya heran dengan logika yang dikembangkan Yusril. Logika yang keliru menurut doktrin hukum, peraturan perundang-undangan dan berlawanan dengan putusan MK," kata Oce saat dihubungi, Kamis (13/7/2017).
Oce menjelaskan, sistem ketatanegaraan saat ini telah berkembang.
Baca: Todung: Yusril Salah Anggap KPK Bagian dari Eksekutif
Kekuasaan negara tidak lagi hanya berdasarkan teori Montesque mengenai Trias Politica di mana lembaga di dalam suatu negara dibagi menjadi tiga golongan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Itu teori klasik yang pada praktiknya sudah berkembang jauh," kata Oce.
Salah satu perkembangan kekinian, lanjut Oce, adalah lahirnya komisi-komisi sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan dan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu.
Sistem ini sudah diterapkan oleh banyak negara. Komisi-komisi ini berbeda dengan lembaga eksekutif.
"Sudah banyak doktrin soal ini. Berbagai riset bisa dibaca di banyak Jurnal. Salah satu contoh lembaga itu adalah KPK," kata Oce.
Oce mengatakan, keberadaan atau eksistensi KPK selama ini memang kerap dipertanyakan.
Baca: Yusril Sarankan KPK Tempuh Jalur Hukum Selesaikan Polemik Hak Angket
Namun, jika kembali melihat putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), secara jelas ditegaskan bahwa pembentukan KPK penting secara konstitusional (constitutionally important) dan KPK merupakan lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945.
Pasal ini, kata Oce, berada pada "BAB Kekuasaan Kehakiman”.
Bunyinya, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
"Jadi tidak benar fungsi KPK adalah bagian dari eksekutif (pemerintah)," kata Oce.
Lebih jauh, Oce mengatakan, UU KPK menegaskan perihal independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh pihak atau kekuasaan serta lembaga mana pun.
Pasal 11 UU KPK menegaskan bahwa pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Dengan kata lain, pihak-pihak yang paling potensial untuk diusut oleh KPK adalah pihak-pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan.
Oleh karena itu, KPK harus independen, tidak berada di cabang kekuasaan atau lembaga yang lain.
Menurut Oce, karena substansinya sebagai lembaga independen dan fungsinya bagian dari kekuasan kehakiman, maka kerja KPK diuji atau diawasi oleh pengadilan, yaitu pengadilan tipikor dan berujung di Mahkamah Agung.
Menjadi salah kaprah jika diuji oleh DPR atau pun Presiden.
"Jadi menurut saya secara doktrinal dan perundang-undangan pendapat Yusril itu keliru. Pendapat Yusril juga bertentangan dengan putusan MK," kata Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM tersebut.
Pendapat Yusril
Yusril sebelumnya menilai, sesuai dengan hukum ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak angket terhadap KPK.
Sebab, KPK dibentuk melalui undang-undang. Hal itu diungkapkan Yusril dalam rapat bersama Pansus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Dalam UUD 1945, lanjut Yusril, disebutkan bahwa DPR mempunyai beberapa tugas dan kewenangan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran.
Dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan, DPR dibekali sejumlah hak, termasuk angket.
Ia menambahkan, pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan pula bahwa DPR dapat melakukan angket terhadap pelaksanaan UU dan terhadap kebijakan pemerintah.
Mantan Menteri Kehakiman dan HAM era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu menambahkan, angket dilakukan terhadap kebijakan pemerintah (eksekutif).
Dalam sistem ketatanegaraan, terdapat tiga organ, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
KPK bukan termasuk kategori yudikatif karena bukan merupakan badan pengadilan yang memeriksa dan mengadili.
KPK juga bukan termasuk badan legislatif karena tak memproduksi peraturan perundang-undangan.
Kecuali peraturan internal yang dibuat khusus untuk KPK atau membuat peraturan karena perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi.
"Eksekutif, apakah masuk? Iya," ujar Yusril.
Alasannya, amanat dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat itu menyebutkan dalam tempo dua tahun sudah harus terbentuk komisi pemberantasan korupsi yang bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi.
Selain itu, dalam proses pembentukannya, sempat ada kekhawatiran tumpang tindih antara KPK dengan lembaga lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan.
Kekhawatiran tersebut diungkapkan pertama kali oleh Fraksi TNI/Polri.