Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akademisi Pertanyakan Logika Yusril Sebut KPK Lembaga Eksekutif

Kompas.com - 13/07/2017, 15:08 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril berpendapat, hak angket tidak bisa menyasar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebab, KPK bukan termasuk lembaga eksekutif.

Hal ini disampaikan Oce menanggapi pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang menganggap bahwa hak angket bisa ditujukan terhadap KPK karena KPK bagian dari eksekutif.

Ia mempertanyakan konstruksi logika yang dibangun oleh Yusril.

"Saya heran dengan logika yang dikembangkan Yusril. Logika yang keliru menurut doktrin hukum, peraturan perundang-undangan dan berlawanan dengan putusan MK," kata Oce saat dihubungi, Kamis (13/7/2017).

Oce menjelaskan, sistem ketatanegaraan saat ini telah berkembang. 

Baca: Todung: Yusril Salah Anggap KPK Bagian dari Eksekutif

Kekuasaan negara tidak lagi hanya berdasarkan teori Montesque mengenai Trias Politica di mana lembaga di dalam suatu negara dibagi menjadi tiga golongan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

"Itu teori klasik yang pada praktiknya sudah berkembang jauh," kata Oce.

Salah satu perkembangan kekinian, lanjut Oce, adalah lahirnya komisi-komisi sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan dan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu.

Sistem ini sudah diterapkan oleh banyak negara. Komisi-komisi ini berbeda dengan lembaga eksekutif.

"Sudah banyak doktrin soal ini. Berbagai riset bisa dibaca di banyak Jurnal. Salah satu contoh lembaga itu adalah KPK," kata Oce.

Oce mengatakan, keberadaan atau eksistensi KPK selama ini memang kerap dipertanyakan.

Baca: Yusril Sarankan KPK Tempuh Jalur Hukum Selesaikan Polemik Hak Angket

Namun, jika kembali melihat putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), secara jelas ditegaskan bahwa pembentukan KPK penting secara konstitusional (constitutionally important) dan KPK merupakan lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945.

Pasal ini, kata Oce, berada pada "BAB Kekuasaan Kehakiman”.

Bunyinya, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.

"Jadi tidak benar fungsi KPK adalah bagian dari eksekutif (pemerintah)," kata Oce.

Lebih jauh, Oce mengatakan, UU KPK menegaskan perihal independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh pihak atau kekuasaan serta lembaga mana pun.

Pasal 11 UU KPK menegaskan bahwa pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Dengan kata lain, pihak-pihak yang paling potensial untuk diusut oleh KPK adalah pihak-pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan.

Oleh karena itu, KPK harus independen, tidak berada di cabang kekuasaan atau lembaga yang lain.

Menurut Oce, karena substansinya sebagai lembaga independen dan fungsinya bagian dari kekuasan kehakiman, maka kerja KPK diuji atau diawasi oleh pengadilan, yaitu pengadilan tipikor dan berujung di Mahkamah Agung.

Menjadi salah kaprah jika diuji oleh DPR atau pun Presiden.

"Jadi menurut saya secara doktrinal dan perundang-undangan pendapat Yusril itu keliru. Pendapat Yusril juga bertentangan dengan putusan MK," kata Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM tersebut.

Pendapat Yusril

Yusril sebelumnya menilai, sesuai dengan hukum ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak angket terhadap KPK.

Sebab, KPK dibentuk melalui undang-undang. Hal itu diungkapkan Yusril dalam rapat bersama Pansus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2017).

Dalam UUD 1945, lanjut Yusril, disebutkan bahwa DPR mempunyai beberapa tugas dan kewenangan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran.

Dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan, DPR dibekali sejumlah hak, termasuk angket.

Ia menambahkan, pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan pula bahwa DPR dapat melakukan angket terhadap pelaksanaan UU dan terhadap kebijakan pemerintah.

Mantan Menteri Kehakiman dan HAM era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu menambahkan, angket dilakukan terhadap kebijakan pemerintah (eksekutif).

Dalam sistem ketatanegaraan, terdapat tiga organ, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

KPK bukan termasuk kategori yudikatif karena bukan merupakan badan pengadilan yang memeriksa dan mengadili.

KPK juga bukan termasuk badan legislatif karena tak memproduksi peraturan perundang-undangan.

Kecuali peraturan internal yang dibuat khusus untuk KPK atau membuat peraturan karena perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi.

"Eksekutif, apakah masuk? Iya," ujar Yusril.

Alasannya, amanat dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat itu menyebutkan dalam tempo dua tahun sudah harus terbentuk komisi pemberantasan korupsi yang bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi.

Selain itu, dalam proses pembentukannya, sempat ada kekhawatiran tumpang tindih antara KPK dengan lembaga lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan.

Kekhawatiran tersebut diungkapkan pertama kali oleh Fraksi TNI/Polri.

Kompas TV Yenny Wahid turut hadir dalam pertemuan antara pengurus besar Nahdlatul Ulama dan pimpinan KPK siang ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com