Pasal ini, kata Oce, berada pada "BAB Kekuasaan Kehakiman”.
Bunyinya, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
"Jadi tidak benar fungsi KPK adalah bagian dari eksekutif (pemerintah)," kata Oce.
Lebih jauh, Oce mengatakan, UU KPK menegaskan perihal independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh pihak atau kekuasaan serta lembaga mana pun.
Pasal 11 UU KPK menegaskan bahwa pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Dengan kata lain, pihak-pihak yang paling potensial untuk diusut oleh KPK adalah pihak-pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan.
Oleh karena itu, KPK harus independen, tidak berada di cabang kekuasaan atau lembaga yang lain.
Menurut Oce, karena substansinya sebagai lembaga independen dan fungsinya bagian dari kekuasan kehakiman, maka kerja KPK diuji atau diawasi oleh pengadilan, yaitu pengadilan tipikor dan berujung di Mahkamah Agung.
Menjadi salah kaprah jika diuji oleh DPR atau pun Presiden.
"Jadi menurut saya secara doktrinal dan perundang-undangan pendapat Yusril itu keliru. Pendapat Yusril juga bertentangan dengan putusan MK," kata Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM tersebut.
Pendapat Yusril
Yusril sebelumnya menilai, sesuai dengan hukum ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak angket terhadap KPK.
Sebab, KPK dibentuk melalui undang-undang. Hal itu diungkapkan Yusril dalam rapat bersama Pansus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Dalam UUD 1945, lanjut Yusril, disebutkan bahwa DPR mempunyai beberapa tugas dan kewenangan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran.
Dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan, DPR dibekali sejumlah hak, termasuk angket.