JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli pidana Jisman Samosir menilai, terlambatnya pemberitahuan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada terlapor bukan suatu masalah.
Hal ini tidak akan menggugurkan proses penyidikan.
Hal itu disampaikan Jisman saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan gugatan praperadilan yang diajukan Hary Tanoesoedibjo terhadap Bareskrim Polri, Kamis (13/7/2017), di PN Jakarta Selatan.
Jisman merupakan saksi ahli yang dihadirkan oleh Bareskrim.
Ia menyampaikan pendapat tersebut untuk menjawab pertanyaan hakim tunggal praperadilan, Cepi Iskandar.
"Jadi kalau pun diatur bahwa SPDP wajib diberikan kepada korban atau keluarganya, menurut saya bukan itu masalah utama," kata Jisman.
Baca: Kubu Hary Tanoe Hadirkan Bukti Wawancara Jaksa Yulianto di Televisi
Dalam kasus SMS Hary Tanoe kepada Jaksa Yulianto, Hary disebut terlambat menerima SPDP.
Sprindik Hary Tanoe disebut tertanggal 15 Mei 2017, tetapi SPDP-nya baru disampaikan kepadanya pada 20 Juni 2017.
Hakim menjelaskan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi diatur bahwa SPDP wajib diberitahukan kepada jaksa penuntut umum, pelapor, dan terlapor paling lambat 7 hari.
Akan tetapi, Jisman tetap berpendapat hal itu bukan sesuatu masalah.
Pada sidang sebelumnya, ahli pidana yang dihadirkan kubu Hary menilai, merupakan suatu pelanggaran jika SPDP terlambat diberikan kepada terlapor.
Jisman mengatakan, yang menjadi masalah utama justru soal berkas, apakah berkas penyidikan tersebut lengkap atau tidak.
"Menurut saya masalah utama adalah pada saat dilakukan penyidikan apakah berkas itu lengkap atau tidak. Itu paling penting, bukan soal disampaikan (SPDP)," ujar Jisman.
Baca juga: Terlambatnya Pemberitahuan SPDP pada Kasus Hary Tanoe Dinilai Pelanggaran
Kecuali, lanjut dia, berkaitan dengan masalah penahanan terhadap seseorang. Maka, hal tersebut yang paling penting untuk diberitahukan.