JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPR RI, Miryam S Haryani, didakwa memberikan keterangan palsu di pengadilan.
Miryam diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang benar saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
"Terdakwa dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar sebagai saksi," ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/7/2017).
(baca: Menangis, Mantan Anggota Komisi II Bantah Semua Isi BAP soal E-KTP)
Menurut jaksa, Miryam dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.
Dalam persidangan, anggota Fraksi Partai Hanura itu mengatakan, sebenarnya tidak pernah ada pembagian uang ke sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, sebagaimana yang dia beberkan sebelumnya kepada penyidik.
(baca: Mantan Anggota Komisi II Mengaku Tertekan Saat Diperiksa soal E-KTP)
Miryam beralasan, saat memberikan keterangan dalam BAP, ia ditekan dan diancam oleh tiga penyidik KPK. Padahal, menurut jaksa, alasan Miryam tersebut tidak benar.
Dalam persidangan kasus e-KTP, jaksa pernah menghadirkan tiga penyidik KPK, yakni Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan MI Susanto.
Ketiga penyidik membantah adanya tekanan atau paksaan kepada Miryam dalam memberikan keterangan.
(baca: Psikolog Simpulkan Miryam Tak Tertekan Saat Diperiksa KPK)
Bahkan, menurut ketiga penyidik, dalam empat kali pemeriksaan, Miryam selalu diberikan kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keterangannya pada akhir pemeriksaan.
Hal itu terbukti dengan paraf dan tanda tangan Miryam yang dibubuhkan pada setiap berkas BAP.
"Keterangan terdakwa juga bertentangan dengan bukti berupa dokumen draft BAP yang telah dicorat-coret (dikoreksi) dengan tulisan tangan terdakwa. Demikian juga rekaman video yang membuktikan tidak adanya tekanan," kata Kresno.
Miryam didakwa melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.