PASCALEDAKAN bom di Kampung Melayu pada 24 Mei 2017 yang merenggut nyawa tiga orang polisi dan melukai belasan orang lainnya, kemudian penusukan anggota Polri hingga tewas di Medan (25/6/17) dan Jakarta Selatan (30/6/17), kesadaran akan pentingnya regulasi antiteror yang memadai kembali mengemuka ke publik.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan percepatan pembahasan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sudah cukup lama tertunda. Salah satu faktor penting yang membuat pembahasan rancangan undang-undang itu tertunda adalah untuk menghindari potensi pelanggaran HAM.
Kapolri menyampaikan bahwa prinsip dasar dalam pemberantasan terorisme tetap dalam koridor penghormatan dan perlindungan HAM.
Hal ini juga dinyatakan oleh Menkopolhukam Wiranto, bahwa jikapun TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme, akan tetap memperhatikan HAM. Kalangan DPR juga sepakat bahwa HAM harus menjadi prinsip yang tidak boleh ditinggalkan.
Di sisi lain, ada yang berpendapat, mengingat begitu mendesak dan bahayanya tingkat ancaman terorisme, HAM bisa dikesampingkan. Hal ini karena HAM memberikan batasan-batasan yang dianggap menghalangi penegakan hukum.
Misalnya, penangkapan atas terduga teroris harus memenuhi minimal dua alat bukti yang cukup. Penegak hukum tidak bisa menangkap terduga teroris secara sewenang-wenang tanpa ada bukti yang kuat.
Dalam konteks pro dan kontra aspek HAM dalam pemberantasan terorisme ini, saya hendak memberikan catatan melalui tulisan ini, agar tidak salah menempatkan HAM atau HAM dianggap menjadi penghalang dalam pemberantasan terorisme.
Baca juga: UU Anti-terorisme Seharusnya Juga Atur soal Pengawasan Mantan Napi Teroris
HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah, maka HAM melekat erat pada setiap manusia, siapapun dia tanpa terkecuali.
Tidak ada seorang atau pihak manapun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang-wenang, termasuk pemerintah.
Apakah seorang teroris mempunyai HAM? Ya, sudah pasti. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat, misalnya teroris, tidak punya HAM.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana aspek HAM bagi teroris yang telah membunuh orang dan merugikan kepentingan umum? Ada yang berpendapat, oleh karena aksi mereka telah merenggut hak hidup dan hak atas rasa aman bagi masyarakat secara luas, tidak pantas bagi teroris untuk dijamin dan dilindungi HAM-nya.
Di sinilah perbedaan antara pendekatan pemberantasan terorisme berbasis HAM dan yang tidak berbasis HAM.
Kita sudah menyaksikan penerapan dari Patriot Act di Amerika Serikat yang diberlakukan sejak peristiwa teror Menara Kembar WTC di New York pada 11 September 2001.
Melalui undang-undang itu, aparat AS bisa menginterogasi, menangkap, dan menahan seseorang yang dituduh sebagai teroris secara sewenang-wenang dan dengan waktu yang tidak terbatas, tanpa adanya bukti.
Orang-orang yang dituduh teror itu di antaranya diisolasi di penjara Guantanamo Kuba atau penjara rahasia lainnya. Mereka mendapatkan siksaan dan perlakuan yang sangat tidak manusiawi selama ditahan.
Apakah lantas teror di AS bisa diatasi dengan kebijakan yang represif itu? Tidak! Teror malahan semakin sering terjadi di AS, bahkan oleh warga negara AS sendiri.
Aksi dan tindakan teror semakin sulit untuk dihindari karena pendekatan penanganan yang salah dan semena-mena. Setelah 16 tahun Amerika Serikat mendeklarasikan perang melawan teror, terorisme malah semakin meluas dari Timur Tengah ke Asia Tenggara (Kompas, 10/7/17)
Sementara di Indonesia, terduga teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka yang dituduh melakukan teror, diadili melalui proses hukum dengan mengedepankan asas due process of law dalam koridor criminal justice system.
Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai pelaku semata, namun juga korban.
Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, di antaranya internet. Untuk itu, selepas dipenjara, mereka harus dirahabilitasi dan diberdayakan secara sosial dan ekonomi.
Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor-aktor nonnegara (organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM, dll) untuk berperan serta menanggulangi terorisme.
Hal ini karena terorisme, sebagai faham dan gerakan, tidak bisa hanya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal.
Melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara bisa memperoleh banyak data dan informasi tentang terorisme yang diperoleh dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli, dan alat bukti lainnya.
Keterangan ini berguna untuk menguak dan menelusuri jaringan teror yang ada untuk kepentingan pencegahan dan penindakan.
Selain itu, proses penegakan hukum menjadi media edukasi bagi publik dan terduga teroris bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum.
Hal ini jauh berbeda dengan pendekatan ala AS, ketika pemberantasan terorisme sangat mengabaikan hukum dan partisipasi masyarakat sehingga tidak efektif. Perilaku teror direplikasi oleh warga AS sendiri sebagaimana terjadi pada banyak kejadian terakhir berupa penembakan massal di kampus ataupun tempat-tempat umum.
Menurut organisasi think thank AS, New Amerika, pasca-911, jumlah warga AS yang terbunuh oleh organisasi teroris hanya sebanyak 9 orang. Sedangkan warga AS yang tertembak mati oleh sesama warga AS sebanyak 11.737 orang (2005-2014). Artinya, 82 persen aksi teror dilakukan oleh warga AS.
Alhasil, pendekatan berbasis HAM dalam penanggulangan terorisme tidak melemahkan upaya menekan aksi teror, akan tetapi justru memperkuatnya melalui partisipasi luas masyarakat.
Partisipasi masyarakat adalah modal sosial yang sangat penting supaya penanggulangan teror menjadi gerakan sosial kemasyarakatan, bukan hanya semata menjadi tugas dan tanggung jawab aparat negara yang dalam banyak hal mempunyai banyak keterbatasan. (Mimin Dwi Hartono, Staf Senior Komnas HAM, pendapat pribadi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.