Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yusril Ancam Gugat UU Pemilu, Apa Tanggapan Istana?

Kompas.com - 10/07/2017, 17:58 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi mengatakan, pihak Istana Kepresidenan tak khawatir dengan langkah pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, yang mengancam akan menggugat Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut Johan, langkah itu merupakan hak Yusril.

Yusril mengancam akan menggugat UU Pemilu jika ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tidak dihapuskan.

"Oh tidak (khawatir). Kan tidak bisa melarang juga. Itu haknya Pak Yusril," kata Johan, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/7/2017).

Baca: Yusril Ancam Gugat UU Pemilu jika "Presidential Threshold" Tak Dihapus

Saat ini, pembahasan RUU Pemilu antara pemerintah dan DPR masih buntu.

Kebuntuan itu karena belum dicapai kesepakatan soal presidential threshold.

Pemerintah bersama PDI-P, Golkar, dan Nasdem ingin menggunakan aturan lama, di mana parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Parpol lain seperti Gerindra, PKS, PKB, PAN, PPP dan Hanura masih berupaya mencari jalan tengah dengan mengusulkan presidential threshold di angka sekitar 10 persen.

Sementara, Partai Demokrat ingin presidential threshold 0 persen atau dihapuskan.

Baca: Menurut Yusril, Seharusnya Tak Ada "Presidential Threshold" di Pemilu 2019

Johan mengatakan, merupakan hak setiap warga negara, termasuk Yusril, untuk menggugat UU ke MK.

Namun, Johan menekankan, ancaman tersebut tidak akan memengaruhi sikap pemerintah soal presidential threshold.

Sikap pemerintah sepenuhnya akan tergantung dari pembahasan RUU Pemilu bersama sepuluh fraksi di DPR.

"Undang-Undang itu kan kesepakatan pemerintah dan DPR. Masih dalam diskusi sekarang ini," ujar Johan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga sebelumnya mempersilakan Yusril untuk menggugat ke MK.

Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah akan tetap mempertahankan presidential threshold di angka 20-25 persen.

Dihapuskan

Adapun, Yusril menilai, presidential threshold seharusnya dihapuskan karena Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu legislatif dan pemilu presiden berjalan serentak.

Penggunaan hasil Pemilu 2014 untuk Pilpres 2019 dinilai tidak relevan.

"Jika presidential treshold tetap ada, berapapun angka persentasenya, maka aturan itu adalah inkonstitusional  bertentangan dengan Pasal 22E UUD 45," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini.

Yusril juga mengingatkan bahwa dampaknya akan sangat fatal jika MK membatalkan ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu.

Apalagi, jika putusan MK itu muncul setelah pilpres digelar. Pilpres 2019 akan dianggap inkonstitusional karena digelar berdasarkan UU Pemilu yang dibatalkan MK.

"Jika Pilpres itu inkonstitusional, maka hancur leburlah negara ini sebab pemimpin negaranya tidak mempunyai legitimasi untuk menjalankan roda pemerintahan," kata Yusril.

Kompas TV Presiden Joko Widodo tetap pada sikapnya untuk ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sekjen PDI-P Ungkap Bupati Banyuwangi Diintimidasi, Diperiksa Polisi 6 Jam

Sekjen PDI-P Ungkap Bupati Banyuwangi Diintimidasi, Diperiksa Polisi 6 Jam

Nasional
Menteri ESDM Jelaskan Dampak Konflik Iran-Israel ke Harga BBM, Bisa Naik Luar Biasa

Menteri ESDM Jelaskan Dampak Konflik Iran-Israel ke Harga BBM, Bisa Naik Luar Biasa

Nasional
Jawab PAN, Mardiono Bilang PPP Sudah Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Jawab PAN, Mardiono Bilang PPP Sudah Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
Kubu Anies-Muhaimin: Ada Fakta Tak Terbantahkan Terjadi Nepotisme Gunakan Lembaga Kepresidenan

Kubu Anies-Muhaimin: Ada Fakta Tak Terbantahkan Terjadi Nepotisme Gunakan Lembaga Kepresidenan

Nasional
Tim Hukum Anies-Muhaimin Sampaikan 7 Fakta Kecurangan Pilpres di Dalam Dokumen Kesimpulan

Tim Hukum Anies-Muhaimin Sampaikan 7 Fakta Kecurangan Pilpres di Dalam Dokumen Kesimpulan

Nasional
Pasca-serangan Iran ke Israel, Kemenlu Terus Pantau WNI di Timur Tengah

Pasca-serangan Iran ke Israel, Kemenlu Terus Pantau WNI di Timur Tengah

Nasional
Temui Megawati, Ganjar Mengaku Sempat Ditanya karena Tak Hadiri 'Open House' di Teuku Umar

Temui Megawati, Ganjar Mengaku Sempat Ditanya karena Tak Hadiri "Open House" di Teuku Umar

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Kritik Megawati Ajukan 'Amicus Curiae' ke MK

Kubu Prabowo-Gibran Kritik Megawati Ajukan "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Soal Gibran Ingin Bertemu, Ganjar: Pintu Saya Tidak Pernah Tertutup

Soal Gibran Ingin Bertemu, Ganjar: Pintu Saya Tidak Pernah Tertutup

Nasional
Telepon Wamenlu AS Pasca-serangan Iran ke Israel, Menlu Retno: Anda Punya Pengaruh Besar

Telepon Wamenlu AS Pasca-serangan Iran ke Israel, Menlu Retno: Anda Punya Pengaruh Besar

Nasional
Bakal Hadiri Putusan Sengketa Pilpres, Ganjar Berharap MK Tak Buat 'April Mop'

Bakal Hadiri Putusan Sengketa Pilpres, Ganjar Berharap MK Tak Buat "April Mop"

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Anies-Muhaimin Yakin Permohonan Dikabulkan

Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Anies-Muhaimin Yakin Permohonan Dikabulkan

Nasional
Soal 'Amicus Curiae' Megawati, Ganjar: Momentum agar MK Tak Buat 'April Mop'

Soal "Amicus Curiae" Megawati, Ganjar: Momentum agar MK Tak Buat "April Mop"

Nasional
Ke Teuku Umar, Ganjar Jelaskan Alasannya Baru Silaturahmi dengan Megawati

Ke Teuku Umar, Ganjar Jelaskan Alasannya Baru Silaturahmi dengan Megawati

Nasional
Ganjar Tak Persoalkan Kehadiran Mardiono di Acara Halalbihalal Golkar

Ganjar Tak Persoalkan Kehadiran Mardiono di Acara Halalbihalal Golkar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com