Ketentuan itu kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Pada pasal 28 (1) disebutkan, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Pasal (2) UU 2/2002 menyatakan, anggota Polri tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Adapun Pasal (3) menyatakan, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Titik rawan netralitas
Menurut Guru Besar Sosiologi Hukum FISIP UI, Bambang Widodo Umar dalam UU Nomor 2 Tahun 200, termuat beberapa rumusan pasal yang masih menjadi titik rawan.
Pada Pasal 2, termuat rumusan bahwa Polri adalah salah satu "fungsi pemerintahan" selain penegak hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan pada "fungsi pemerintahan" inilah yang seringkali ditafsirkan sebagai agent of political stabilisation pemerintah karena posisinya di lingkungan eksekutif sehingga netralitas dalam tugasnya menjadi titik resistensi. Hal ini memunculkan persepsi bahwa polisi akan selalu mengamankan kebijakan pemerintah.
Selain itu, ditetapkannya posisi Polri di bawah Presiden pada Pasal 8 (1) UU No 2/2002 tanpa "pengikat" (sanksi) yang jelas, jika organ polisi digunakan sebagai alat kepentingan politik yang mengganggu netralitasnya dalam menjalankan tugas.
Demikian pula ketentuan Pasal 11 (1), yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri lewat persetujuan DPR, bisa menjadi peluang politisasi polisi dan merangsang elite polisi mendekati kekuatan politik tertentu untuk memuluskan kariernya.
Hal itu kemudian melahirkan semacam pengelompokan afilisasi politis yang menimbulkan iklim yang tidak sehat di internal Polri.
Kekuasaan besar polisi juga bisa merangsang individu atau golongan untuk mendekatinya sebagai upaya menjaga relasi untuk pengamanan diri (safety first). Apalagi, dalam UU No 2/2002 tidak dirumuskan secara tegas mekanisme pertanggungjawaban polisi sebagai institusi.
Apakah polisi bertanggung jawab kepada Presiden, kepada elite politik di parlemen, atau kepada publik?