Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Kelakuan Napi Koruptor yang Jadi Narasumber Pansus

Kompas.com - 07/07/2017, 07:17 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket yang dibentuk DPR semakin gencar bermanuver demi menemukan setiap kesalahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setelah tak berhasil menghadirkan Miryam S Haryani ke Gedung Parlemen, Pansus Hak Angket makin berani unjuk gigi. Terakhir, pada Kamis (6/7/2017), Pansus Hak Angket mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat.

Di rumah bagi narapidana kasus korupsi itu, para anggota Pansus mewawancarai sejumlah koruptor yang dijebloskan KPK ke jeruji besi.

Bicara mengenai musuh-musuh KPK, para penghuni Lapas Sukamiskin bisa jadi adalah beberapa orang yang paling membenci KPK. Meski demikian, dengan berbagai alasan, Pansus Hak Angket tetap menggunakan menganggap para koruptor layak sebagai narasumber mereka.

Anggota Pansus menanyai beberapa terpidana korupsi terkait proses penyidikan yang mereka lalui di KPK. Pansus mencari tahu, apakah ada hal-hal yang menyimpang atau melanggar HAM.

Fakta para koruptor

Salah satu penghuni Lapas Sukamiskin adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Pada 9 Maret 2012, Anas pernah bernazar di hadapan umum. Ia bersikeras membantah melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek Hambalang.

Anas pernah mengatakan bahwa ia bersedia digantung di Monas jika terbukti menerima aliran uang korupsi terkait proyek Hambalang. Namun, pada kenyataannya kata-kata Anas yang begitu meyakinkan terpatahkan oleh fakta di pengadilan.

Hakim membuktikan bahwa Anas telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dalam proyek di Hambalang. Begitu yakinnya, sampai-sampai Mahkamah Agung melipatgandakan hukuman yang harus dipikul Anas menjadi 14 tahun pidana penjara.

(Baca: Hasil Pertemuan Pansus Angket KPK dengan Napi Koruptor di Sukamiskin)

Para koruptor yang kini mendekam di Lapas Sukamiskin juga dikenal lihai dalam merencanakan suatu praktik korupsi.

Fakta persidangan mengungkap begitu banyak kata sandi dan istilah tertentu yang digunakan para koruptor untuk menyamarkan uang suap dan mengelabui KPK. Salah satunya adalah mantan anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana.

Ia terbukti meminta orang kepercayaannya, Suhemi, untuk menyamarkan uang suap yang diminta kepada pejabat di Provinsi Sumatera Barat. Putu terbukti menggunakan istilah "meter" dan "kaleng susu" saat berkomunikasi.

Satuan meter untuk mengganti penyebutan uang miliaran rupiah. Sementara, kaleng susu memaksudkan uang suap.

(Baca: Ketua KPK Bingung Pansus Angket sampai Temui Koruptor)

Tak hanya itu, para koruptor yang kini berstatus terpidana juga secara terang-terangan melawan balik KPK. Mereka yang ditangkap justru merasa dizalimi oleh KPK.

Padahal, setelah melalui serangkaian proses hukum, hakim membuktikan tindak pidana korupsi yang disangkakan oleh KPK benar adanya.

Belum lagi, para koruptor yang pintar memainkan ekspresi di muka hakim. Politisi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo, menangis tersedu saat jaksa KPK menuntut agar Dewie dihukum 9 tahun penjara.

Dewie tetap tidak mau mengakui menerima 177.700 dollar Singapura terkait proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua. Ia justru merasa sedang memperjuangkan aspirasi rakyat. Namun, pada akhirnya Dewi divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim.

Setelah permohonan banding diterima, Pengadilan Tinggi justru memperberat hukuman Dewie menjadi 8 tahun penjara. Hakim juga mencabut hak politik Dewie. Dengan melihat berbagai fakta tersebut, timbul sebuah pertanyaan.

Apakah masih relevan meminta pendapat para koruptor untuk menilai KPK?

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

KPK Akan Ladeni Argumen Eks Karutan yang Singgung Kemenangan Praperadilan Eddy Hiariej

KPK Akan Ladeni Argumen Eks Karutan yang Singgung Kemenangan Praperadilan Eddy Hiariej

Nasional
Menlu Retno Beri Penjelasan soal Tekanan agar Indonesia Normalisasi Hubungan dengan Israel

Menlu Retno Beri Penjelasan soal Tekanan agar Indonesia Normalisasi Hubungan dengan Israel

Nasional
'One Way', 'Contraflow', dan Ganjil Genap di Tol Trans Jawa Sudah Ditiadakan

"One Way", "Contraflow", dan Ganjil Genap di Tol Trans Jawa Sudah Ditiadakan

Nasional
Kakorlantas Minta Maaf jika Ada Antrean dan Keterlambatan Selama Arus Mudik dan Balik Lebaran 2024

Kakorlantas Minta Maaf jika Ada Antrean dan Keterlambatan Selama Arus Mudik dan Balik Lebaran 2024

Nasional
KPK Sebut Tak Wajar Lonjakan Nilai LHKPN Bupati Manggarai Jadi Rp 29 Miliar dalam Setahun

KPK Sebut Tak Wajar Lonjakan Nilai LHKPN Bupati Manggarai Jadi Rp 29 Miliar dalam Setahun

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, KPU Bawa Bukti Tambahan Formulir Kejadian Khusus Se-Indonesia

Serahkan Kesimpulan ke MK, KPU Bawa Bukti Tambahan Formulir Kejadian Khusus Se-Indonesia

Nasional
Tim Hukum Anies-Muhaimin Serahkan 35 Bukti Tambahan ke MK

Tim Hukum Anies-Muhaimin Serahkan 35 Bukti Tambahan ke MK

Nasional
PPP Siap Gabung, Demokrat Serahkan Keputusan ke Prabowo

PPP Siap Gabung, Demokrat Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
PDI-P Jaring Nama Potensial untuk Pilkada DKI 2024, yang Berminat Boleh Daftar

PDI-P Jaring Nama Potensial untuk Pilkada DKI 2024, yang Berminat Boleh Daftar

Nasional
Hasto Sebut 'Amicus Curiae' Megawati Bukan untuk Intervensi MK

Hasto Sebut "Amicus Curiae" Megawati Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Iran Serang Israel, Jokowi Minta Menlu Retno Upayakan Diplomasi Tekan Eskalasi Konflik Timur Tengah

Iran Serang Israel, Jokowi Minta Menlu Retno Upayakan Diplomasi Tekan Eskalasi Konflik Timur Tengah

Nasional
Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah, Gubernur BI Pastikan Akan Ada Intervensi

Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah, Gubernur BI Pastikan Akan Ada Intervensi

Nasional
PDI-P Dukung PPP Lakukan Komunikasi Politik supaya 'Survive'

PDI-P Dukung PPP Lakukan Komunikasi Politik supaya "Survive"

Nasional
PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PAN: Jangan Cuma Bicara, tapi Akui Kemenangan 02

PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PAN: Jangan Cuma Bicara, tapi Akui Kemenangan 02

Nasional
Kesimpulan Tim Ganjar-Mahfud: Jokowi Lakukan Nepotisme dalam 3 Skema

Kesimpulan Tim Ganjar-Mahfud: Jokowi Lakukan Nepotisme dalam 3 Skema

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com