JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terhadap pembayaran restitusi atas permohonan PT. Mobile 8 Telecom tahun 2007-2008.
Mereka adalah mantan Direktur PT Mobile 8, Anthony Chandra Kartawiria dan Direktur PT Djaya Nusantara Komunikasi Hary Djaja.
Namun, setelah penyidikan itu digugurkan lewat sidang praperadilan, status tersangka itu juga lepas.
Kejagung kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan baru dalam kasus yang sama. Namun, kali ini penyidik belum menetapkan tersangka.
(Baca: Hary Tanoe: Kasus Mobile 8 Bukan Kewenangan Kejaksaan Agung)
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah mengatakan, kemungkinan dalam waktu dekat penyidik akan menerbitkan sprindik khusus dengan nama tersangka.
"Mungkin iya (penetapan tersangka). Karena ini kan kita sudah pernah ambil keterangan," ujar Arminsyah di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (6/7/2017).
Besar kemungkinan dua tersangka dalam penyidikan sebelumnya akan kembali ditetapkan sebagai tersangka.
"Kemungkinan, karena mereka memang terlibat," kata Arminsyah.
Arminsyah tak menutup kemungkinan akan ada tersangka selain Antony dan Hary Djaja.
Dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa mantan Komisaris PT Mobile 8 Hary Tanoesoedibjo. CEO MNC Group itu diperiksa mengenai pembelian ponsel dan pulsa kepada PT Djaya Nusantara Komunikasi (DNK). Status Hary Tanoe saat ini masih sebatas saksi.
(Baca: Jaksa Agung Anggap Hary Tanoe Selalu Berkelit dalam Kasus Mobile 8)
Kasus ini berawal saat Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif antara Mobile 8 dan PT Djaya Nusantara Komunikasi pada rentang 2007-2009. Saat itu, PT Mobile 8 mengerjakan proyek pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
PT Djaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan. Namun, perusahaan tersebut ternyata tak mampu membeli barang dalam jumlah itu. Akhirnya, transaksi pun direkayasa seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar.
Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan. Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi meski tidak berhak karena tidak ada transaksi.