JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari meminta pemerintah berhati-hati ketika nantinya memutuskan untuk mengirim TNI ke Marawi, Filipina, untuk memberantas ISIS.
Ia menyatakan, Komisi I memang mengimbau pemerintah melalui Kementerian Pertahanan untuk terlibat aktif dalam berbagai upaya mengamankan wilayah NKRI dan salah satu caranya bisa dengan mengirim pasukan ke Filipina.
Namun, ia mengingatkan agar pengiriman pasukan tidak menghadirkan dampak negatif.
Sebab bisa saja nantinya ISIS menaruh dendam kepada TNI dan memindahkan operasi militernya ke Indonesia.
"Tujuan kita kan mengamankan negara kita. Bukan kemudian ikut campur di sana. Oleh karena itu, fokusnya mengamankan negara kita. Bukan kemudian ikut campur dengan negara orang," ujar Kharis di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/7/2017).
(baca: Komisi I: Indonesia Tak Diperkenankan Kirim Pasukan ke Filipina)
Hingga saat ini, Kharis mengaku Komisi I belum menerima surat terkait konsultasi pengiriman pasukan ke Filipina.
"Intinya kita minta agar Kemhan ikut aktif dalam mengamankan wilayah NKRI. termasuk apabila diminta bantuan oleh Filipina untuk kita terlibat. Tentu dengan penuh perhitungan," papar Kharis.
"Sehingga kekhawatiran mereka (ISIS) dendam ke kita bisa kita hindari. Jadi kita amankan negara kita tanpa kita harus memperpanas situasi," lanjut politisi PKS itu.
(baca: Wiranto: Indonesia Siap Bantu Filipina Gempur ISIS di Marawi)
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengizinkan Indonesia terlibat dalam operasi militer untuk menggempur ISIS di Marawi, Filipina Selatan.
Operasi tersebut bertujuan untuk mencegah penyebaran kekuatan kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS.
"Presiden Filipina Duterte sudah mengiyakan. Saya sudah bertemu Presiden Filipina dan Menhan Filipina. Dia dukung penuh, silahkan saja katanya," ujar Ryamizard.
(baca: Pemerintah Masih Kaji Rencana TNI Gempur ISIS di Filipina)
Ryamizard mengatakan, rencana operasi militer tersebut masih menunggu pembentukan payung hukum yang tepat.
Berdasarkan hukum Filipina, operasi militer yang melibatkan negara lain harus mendapatkan persetujuan dari unsur parlemen, meski presiden sudah menyetujui.
"Sedang kami pikirkan karena payung hukumnya belum ada. Walaupun Presiden mengiyakan, tapi itu kan presiden, yang lain kan, seperti kongres belum tentu," kata Ryamizard.