JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai harapan pemerintah untuk dapat mulai mengadministrasikan pemindahan ibu kota mulai 2018 sah-sah saja.
Meski demikian, menurut Enny, pemindahan ibu kota bukan jalan satu-satunya untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru.
Ada benarnya bahwa akan ada dampak beruntun (multiplier effect) dari dibangunnya kantor-kantor pemerintahan di kota baru tersebut.
Akan tetapi, apabila tidak didukung dengan infrastruktur yang mampu memacu potensi daerah, dampaknya tidak akan banyak dan berkelanjutan setelah proses pembangunan gedung-gedung selesai.
"Sekarang apakah misalnya setelah Ibu Kota Malaysia pindah ke Putrajaya, lalu bisnisnya pindah? Kan enggak. Bisnisnya tetap di Kuala Lumpur," kata Enny, kepada Kompas.com, Rabu (5/7/2017).
Enny melanjutkan, sejumlah negara telah mempraktikkan pemisahan kota administrasi pemerintahan dan kota pusat bisnis. Selain Malaysia contoh lainnya adalah Amerika Serikat dengan New York-Washington DC, dan India dengan New Delhi-Mumbai.
Namun di sisi lain, ada pula praktik terbaik kota-kota besar yang tidak melakukan pemisahan kota pemerintahan dan pusat bisnisnya, seperti Tokyo, London, serta Paris.
Ketiga kota terakhir tersebut, kata Enny, tetap berkembang dengan baik. Kendati padat, namun mereka menjelma menjadi smart city yang tertata rapi, tanpa memindahkan ibu kota negara.
Untuk mengembangkan kawasan lain di luar Ibu Kota, juga bisa dilakukan tanpa harus memindahkan pusat pemerintahan.
"Yang bisa mendorong dan memacu aktivitas ekonomi di suatu daerah itu adalah faktor yang dibutuhkan untuk infrastruktur ekonomi. Misalnya kota itu mau dikembangkan untuk apa? Kota industri, ya yang dibangun infrastuktur industri. Kota perdagangan, ya yang dibangun infrastuktur perdagangan," ujar dia.
Melihat contoh-contoh terbaik ini, Enny pun berharap pemerintah membuat kajian yang benar-benar komprehensif, termasuk soal biaya yang akan dikeluarkan.
Sebab, apapun keputusan yang diambil memiliki dampak finansial. Membangun kota administrasi baru berarti harus menyediakan sumber dana yang tidak sedikit.
Berkaca dari Malaysia saja yang jaraknya relatif dekat (Kuala Lumpur-Putrajaya), dana pemindahan ibu kota mencapai 8,1 miliar dollar AS, atau jika dihitung dengan kurs saat ini mencapai Rp 106,4 triliun. Apalagi pemindahan Ibu Kota Indonesia, dari Jawa ke luar Jawa.
(Baca juga: Timbul Tenggelamnya Wacana Pemindahan Ibu Kota)
Namun, apabila tidak jadi dipindahkan, pemerintah pun harus menghitung berapa anggaran yang dibutuhkan untuk membangun Jakarta menjadi smart city.
Enny berharap wacana pemindahan ibu kota tidak muncul sekadar untuk memberantas permasalahan yang selama ini ada di Jakarta, misalnya kemacetan.