Andrinof satu pandangan dengan Zainal bahwa kondisi Jakarta sudah tidak layak terutama sebagai pusat pemerintahan. Pemindahan pusat pemerintahan bahkan sekaligus ibu kota dari Jakarta, sebut dia setidaknya sejak 2008, sudah niscaya.
Namun, Andrinof menegaskan, wacana pemindahan ini bukan semata soal Jakarta.
"Ini penataan ulang tata ruang se-Indonesia. Jakarta hanya salah satunya," kata dia lewat pembicaraan telepon, Rabu.
Jawa, kata dia, sudah kelebihan beban, baik soal ekosistem maupun populasi penduduk. Hampir 60 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa, padahal luas daratannya tak sampai 7 persen daratan Indonesia.
Macet juga bukan cuma masalah Jakarta. Menurut dia, kemacetan sudah terjadi juga di sepanjang jalan utama pantura Jawa. Belum lagi masalah lingkungan seperti lereng gunung yang seharusnya jadi wilayah tangkapan air malah digerus.
"Dengan ini kita melihat usulan pemindahan ibu kota dalam kerangka menata Indonesia, bukan hanya menata Jakarta. Menata Indonesia berarti menata Jabodetabek, Jawa, antarpulau, barat-timur. (Menata untuk) kepentingan bangsa yang lebih besar," papar Andrinof.
(Baca juga: Wacana Memindahkan Ibu Kota dan Keberanian Mengembangkan Kota Lain)
Terlebih lagi, lanjut dia, wacana ini sudah berasa musiman munculnya. "Kalau sudah musiman, ada sesuatu yang memang dirasakan masyarakat," kata dia.
Karena itu, Andrinof sependapat bila sekarang sudah waktunya melakukan kajian serius soal pemindahan ibu kota dan atau pusat pemerintahan dari Jakarta.
"(Kajian serius) supaya kelihatan opsi-opsinya. Jangan dibiarkan wacana hidup tenggelam. Harus melangkah," ujar dia.
Selama menjabat menteri, Andrinof mengaku sudah mengajukan sejumlah opsi tujuan pemindahan. "Sekarang tinggal dikembangkan dan dipertajam. Itu juga saya dorong terus," ucap dia.
Soal apa yang sebenarnya perlu dipindah dari Jakarta, Andrinof tak mempersoalkan bila hanya pusat pemerintahan.
Implikasinya, menurut Andrinof, memang bisa sampai ke amandemen konsitusi dan revisi sejumlah peraturan perundangan. Amandemen terkait klausul bahwa Presiden harus berkedudukan di Ibu Kota.
Bila yang berpindah hanya pusat pemerintahan sementara Ibu Kota Indonesia tetap Jakarta, mau tidak mau klausul dalam konstitusi itu harus disesuaikan.
Revisi peraturan perundangan, yang paling kentara tentu saja terkait UU tentang kekhususan Jakarta sebagai ibu kota, terutama soal status sebagai kota pemerintahan.
"Ini Indonesia memang seharusnya sudah masuk fase baru kalau kajian lanjutan sudah mulai dilakukan. Fokusnya adalah manfaat yang lebih besar," tutur Andrinof.
(Baca juga: Pemerintah Dinilai Tak Transparan soal Rencana Pemindahan Ibu Kota)
Adapun soal target 2018 yang disebut Bambang terkait wacana pemindahan tersebut, Andrinof melihatnya sebagai tenggat waktu untuk penuntasan rencana, termasuk regulasi.
"(Target itu) bukan sampai tahap pematangan lahan apalagi fisik," ujar Andrinof.
Andrinof memperkirakan perencanaan kelembagaan termasuk regulasi dan keputusan politik akan makan waktu dua sampai tiga tahun.
Total waktu yang dibutuhkan untuk realisasi pemindahan, menurut dia di kisaran 10 tahun, merujuk praktik dari 20-an negara yang sudah melakukannya lebih dulu.
Soal kebutuhan biaya, Andrinof berkeyakinan tak akan ada banyak perubahan signifikan pada postur anggaran negara untuk membiayai realisasi wacana ini.