Reorientasi tata ruang
Rizal menambahkan, konsep megapolitan Soekarno menjangkau sampai Purwakarta di Jawa Barat. Di sekeliling Jakarta ada hutan, kebun, pertanian.
"Ada reorientasi tata ruang dengan porsi 70 persen untuk ruang hijau dan ruang biru serta 30 persen ruang abu-abu," kata dia.
Ruang hijau yang disebut Rizal merujuk pada tanaman, sementara ruang biru adalah air, dan abu-abu merupakan aspal, beton, atau bangunan.
Rencana-rencana pengembangan megapolitan yang mencakup Jakarta tersebut, ungkap Rizal, bisa ditemukan di Gedung Pola—belakangan berganti nama menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan.
"Mimpi-mimpi Soekarno tentang reorientasi tata ruang Indonesia ada di situ," ujar Rizal.
Ide-ide Soekarno, sebut Rizal, dulu dikembangkan kajiannya oleh Dewan Perancang Nasional, cikal-bakal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Bedanya dengan sekarang yang paling nampak, imbuh dia, adalah pada sosok pimpinannya.
Dewan Perancang Nasional, kata Rizal, dipimpin oleh "pemimpi" seperti Mohammad Yamin. Jauh sebelum jadi pejabat negara, Yamin adalah sastrawan dan penulis puisi, selain sejarawan.
Adapun pimpinan Bappenas sejak era Soeharto, lanjut Rizal, adalah teknokrat yang jelas tak bekerja atas dasar imajinasi dan mimpi.
Argumentasi Rizal yang meragukan Soekarno benar-benar pernah punya niat memindahkan ibu kota ke Palangkaraya juga ditopang oleh kebijakan lain Presiden pertama Indonesia tersebut.
"Soekarno itu menentang program keluarga berencana (KB) dan anti-ekspansi konsumsi beras," ujar Rizal.
Menentang KB ini, tutur Rizal, dalam konteks Indonesia butuh pertambahan penduduk untuk mengisi semua pulau yang dimiliki.
Indonesia juga tak akan pernah punya cukup sumber daya tentara untuk menjaga semua pulau dan wilayahnya, sehingga memastikan ada penduduk di setiap pulau jadi penting, termasuk dengan munculnya program transmigrasi.
Lalu, ekspansi konsumsi beras, tutur Rizal, ditentang Soekarno dengan alasan praktis. Sebanyak-banyaknya produksi padi nasional yang berpusat di Jawa tak akan cukup memenuhi lonjakan kebutuhan beras seluruh penduduk Indonesia bila ekspansi konsumsi beras dibiarkan.
"Dari semua rentetan itu, makin jelas yang didorong Soekarno adalah membagi beban dari Jakarta yang sudah menjadi ibu kota politik dan wajah muka Indonesia, bukan sekadar memindahkan Ibu Kota," kata Rizal.
(Baca juga: Timbul Tenggelamnya Wacana Pemindahan Ibu Kota)
Soal daya dukung