Palangkaraya, sebut Rizal, merupakan salah satu wajah muka—sebutan Soekarno untuk Jakarta—yang baru.
Kalaupun benar pernah ada keinginan memindahkan ibu kota, lanjut dia, pada akhirnya Soekarno berketetapan hati menjadikan Jakarta sebagai ibu kota.
"Buat Soekarno, tak ada kota lain yang punya identitas seperti Jakarta yang menjadi wadah tumbuhnya nasionalisme di Indonesia. Puncak nasionalisme di Indonesia itu di Jakarta. Inilah ibu kota politik, tak tergantikan. Ini orientasi baru Soekarno," ujar Rizal.
(Baca juga: Wacana Memindahkan Ibu Kota dan Keberanian Mengembangkan Kota Lain)
Apa dan siapa saja yang pindah?
Satu pertanyaan yang selalu turut muncul setiap kali wacana pemindahan ibu kota mencuat adalah, pemindahan ini hanya untuk ibu kota, ibu kota sekaligus pusat pemerintahan, atau hanya pusat pemerintahan?
Betul, Jakarta saat ini adalah ibu kota negara sekaligus pusat pemerintahan. Dalam banyak praktik pemerintahan, jamak sebuah negara memiliki ibu kota dan lokasi pusat pemerintahan yang berbeda.
Contoh terdekat dapat dilihat di "tetangga sebelah", Malaysia. Ibu kota Malaysia tetap Kuala Lumpur, tetapi pusat pemerintahannya berpindah ke Putrajaya.
Memang bukan hal aneh jika sebuah negara memisahkan lebih detail antara ibu kota, pusat pemerintahan, dan pusat bisnis. Konsep ini tidak seperti Jakarta yang segalanya “tumplek” di satu kota.
Misalnya, ibu kota dan pusat pemerintahan Amerika Serikat adalah Washington DC, tetapi pusat bisnisnya ada di New York dan Los Angeles.
(Baca juga: Pemindahan Ibu Kota, Jakarta Dianggap Selevel dengan New York)
Detail dari wacana pemindahan ibu kota ini sejatinya yang bakal lebih penting daripada sekadar kota apa yang diincar menggantikan Jakarta sebagai ibu kota.
Kalau pindahnya boyongan semua fungsi Jakarta pada hari ini, infrastruktur kota, birokrasi, dan keterhubungan lintas wilayah mutlak masuk daftar urusan pindahan.
Bila hanya fungsi pusat pemerintahan yang dipindahkan, bisa jadi tantangannya lebih sederhana. Migrasi “cuma” bakal melibatkan jajaran pemerintah dan aparatur negara di tingkat pusat. Namun, tetap ada implikasi ketatanegaraan yang langsung mencuat dari alternatif ini.
Implikasi itu adalah konstitusi. Menurut konstitusi, Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, satu jabatan dengan dua peran, yang memandatkan pula Presiden berkedudukan di ibu kota.
Nah, bila yang bakal pindah adalah ibu kota sekaligus pusat pemerintahan, siap-siap saja dengan implikasi besar pada biaya, infrastruktur, dan demografi.
Dalam konteks ini, boyongan massal tak hanya melibatkan pergeseran aparatur negara dan pemerintahan di tingkat pusat ke lokasi baru, tetapi juga mereka yang terkait dengan simbol-simbol ibu kota.
(Baca juga: Pindah Ibu Kota dan Segunung Utang Kita)
Lain lagi persoalannya bila wacana pemindahan ibu kota juga menyangkut pusat pemerintahan dan pusat bisnis. Ini baru bolehlah heboh besar.
Celah mencegah boyongan massal ini hanya pada sisi praktis, terutama bila urusan bisnis masih berpusat di Jakarta.
Jangan pernah lupa, PT Telkom, PT Pos Indonesia, dan PT KAI, masih berkantor pusat di Bandung, Jawa Barat, yang artinya di dunia bisnis tak ada keharusan kantor pusat mengikuti keberadaan ibu kota dan pusat pemerintahan.
Sebelum menduga-duga lebih jauh apalagi terjerembab pada prasangka, menunggu jabaran detail dari wacana ini sepertinya lebih bijak dilakukan...